Rabu, 24 Agustus 2016

Rokok, antara Larangan dan Himbauan

Kini beredar kabar bahwa harga sebungkus rokok akan melonjak naik hingga 50 ribu rupiah per bungkus. Nilai tersebut tentu sangat mahal dibandingkan harga sebelumnya yang hanya belasan ribu rupiah per bungkus.

Ada pro-kontra mengikutinya. Tapi itu biasa, karena tak ada yang 100 % disuka. Lalu, sukakah saya atau justru termasuk yang tidak suka dengan kebijakan ini? Tentu 100 % saya setuju. Semoga tak hanya desas desus, tapi secepatnya menjadi nyata. Itu harapan saya.

Sebenarnya, sejak lama masalah rokok telah mengusik pikiran saya. Mulai dari rasa tidak nyaman yang ditimbulkannya, penyakit yang mengintai perokok pasif seperti saya (kalau penyakit yang mengintai perokok aktif biar mereka baca sendiri di bungkus rokoknya, *mereka lebih paham), hingga iklan televisi yang membingungkan bahkan cenderung menyesatkan.

Saya sebut membingungkan karena ada inkonsistensi yang mereka tunjukkan. Di satu sisi, mereka (lewat peringatan di setiap bungkus rokok) mengingatkan parahnya dampak buruk rokok bagi kesehatan. Orang yang normal tentu akan ngeri melihatnya, bercampur jijik mungkin. Namun di sisi lain, pesan yang mereka sampaikan lewat iklan tv 180 derajat sangat berbeda.

Coba cek iklan-iklan rokok yang saban waktu menghiasi layar kaca. Betapa sehat dan enerjiknya para bintang itu. Lebih dari sehat, mereka juga dikesankan cerdas, berwawasan luas, optimis, sosialis, bahkan nasionalis. Jika image itu yang ditampilkan, bukankah artinya mereka sedang menghimbau setiap orang untuk merokok? Saya bahkan bertanya-tanya, sungguhkah para bintang itu merokok? Berapa bungkus yang mereka hisap setiap hari? Berapa rupiah yang mereka hanguskan setiap kali bertransaksi? Berapa orang yang mereka korbankan kesehatannya karena terpaksa menjadi perokok pasif? dan berapa-berapa lainnya.

Jangan-jangan, mereka yang menjadi bintang iklan rokok tidak pernah berpikir menyentuh barang makruh itu. Pun buruh pabrik yang melintingnya, pengusaha yang memodali pembuatannya hingga petugas bea cukai yang mengurusi pajaknya. Jangan-jangan, masyarakatlah yang telah terkelabui oleh iklan-iklan "jujur" mereka.

Tentu mereka tak bisa disalahlan sepenuhnya soal iklan "bukan sebenarnya" itu. Setiap orang bertanggungjawab atas pilihan mereka masing-masing. Masalahnya, kesalahan seseorang dalam memilih juga bisa berimbas pada orang lain. Seperti saya yang ter-pak-sa menjadi perokok pasif.

Jika setiap bungkus rokok konsisten menyampaikan dampak buruk merokok bagi kesehatan, mengapa pesan yang disampaikan lewat layar kaca sebaliknya? Mengapa justru image sehat, enerjik, keren, cerdas dan image-image positif lainnya yang ditampilkan? Inilah yang saya maksud dengan informasi sesat;  seolah dengan merokok, seseorang menjadi enerjik dan cerdas, mudah mendapat ide cemerlang dan gemilang masa depannya. Padahal bukankah setiap bungkus rokok telah bersaksi bahwa masa depan seorang perokok aktif adalah kanker, serangan jantung, impotensi, dan gangguan kehamilan dan janin?

Terlepas dari larangan atau himbauankah yang sedang digaungkan, cobalah berpikir jernih tentang asap rokokmu. Kamu mungkin sangat menikmati setiap hisapan, namun sadarkah kamu bahwa banyak orang yang terzholimi setiap hembusan rokokmu. Tak seharusnya pilihanmu merugikan orang lain. Yang cerdas, yang bijak, yang peduli lingkungan, yang hidup sehat pasti paham maksudnya. Selamat berpikir!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar