Bagaimana perayaan 17 agustusan di tempatmu? Pasti banyak perlombaan
yang kadang membuat jalan umum terpaksa ditutup. Atau jangan2 kamu
pemenang lombanya? Selamat untuk kamu yang berhasil memenangkan lomba 17-an.
Terlepas dari lomba-lomba yang diadakan, upacara bendera adalah hal
sakral yang akan kita bahas kali ini. Begini, sebenarnya upacara bendera
saat tujuh belas agustusan adalah hal yang telah berkali-kali saya
lihat atau ikuti (waktu masih sekolah), tapi upacara bendera pada
perayaan HUT RI ke-71 pada Rabu lalu terasa istimewa bagi saya. Pasalnya, perayaan
HUT RI itu berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Bila biasanya bendera
sang saka merah putih serta merta telah ada di dekat Presiden RI dan bisa
langsung diserahkan ke anggota paskibraka yang membawa nampan, maka kali
ini tidak begitu prosesnya.
Bendera yang merupakan simbol negara itu
diarak dari monumen nasional (monas) menuju istana merdeka menggunakan
kereta kencana. Semakin dramatis dengan antusiasme rakyat Indonesia yang
mengikuti prosesi tersebut. Butuh waktu cukup lama hingga iring-iringan
pembawa bendera sampai di lokasi upacara. Namun waktu itu tak terasa
lama, karena sakralnya sungguh terasa. Bagi saya pribadi, menyaksikan
arak-arakan itu lewat televisi terasa seperti menyaksikan proses
persiapan proklamasi "sungguhan". Entah bagaimana, tapi menurut saya,
ide tersebut berhasil menggugah rasa seolah 17 Agustus 2016 yang lalu
bangsa ini baru merdeka. Perjalanan bendera itu berhasil menarik
perhatian dan menyentuh perasaan saya. Saya ikuti semua prosesinya, dari
pagi hari saat upacara penaikan bendera hingga sore hari saat upacara
penurunan bendera.
Belum lagi trending topic di detik-detik perayaan
tersebut soal dwi kewarganegaraan mantan Menteri ESDM Archandra dan
anggota paskibraka asal Depok Gloria. Keduanya menjadi sorotan nasional.
Isu nasionalisme melekat pada kasus mereka. Perayaan 71 tahun
proklamasi kemerdekaan RI menjadi semakin dramatis karenanya. Soal pak
Archandra, pesan yang saya tangkap adalah Indonesia sedemikian
berwibawanya. Jika ingin menjadi bagian darinya, jangan coba-coba
menduakan. Gloria lain lagi, siswi SMA itu menunjukkan kecintaannya pada
ibu pertiwi meski ada darah lain yang mengalir di tubuhnya. Sayangnya,
darah campuran itu mengaburkan cintanya, karena dinilai ada
ketidakpastian di sana. Gloria tidak 100 % berdarah Indonesia, namun
semangatnya menunjukkan sebaliknya. Semangatnya untuk membanggakan
negeri lebih dari sebagian anak "murni" negeri ini. Meski berstatus anak
"campuran", akhirnya Gloria diizinkan menjadi bagian paskibraka pada
upacara penurunan bendera. Wajah sumringahnya menjadi center of interest
kala itu. Sungguh dramatis sekaligus melegakan. Apalagi ada kisah
petisi di balik izin itu. Namun yang paling menggetarkan jiwa adalah
betapa ternyata menjadi Indonesia adalah harapan yang tak dengan mudah
didapatkan semua orang. Bangga dan bahagia menyelimuti hati saya karena
terlahir sebagai anak Indonesia "murni".
Tentu ada saja yang kurang,
karena memang tidak ada yang sempurna. Seperti saat pesawat TNI
mengudara sambil mengucapkan dirgahayu RI. Saya dibuat kagum melihatnya
hingga mengucap Subhanallah (Maha Suci Allah). Bangga rasanya menjadi
bagian dari Indonesia. Terharu melihat khidmatnya perayaan HUT negeri
ini. Namun saat perasaan diaduk dalam rasa kagum dan haru, harapan untuk
melihat "lebih" pupus begitu saja. Saya membayangkan akan ada
pertunjukan "wah" saat itu. Tapi ternyata hanya "begitu saja" walau
tetap pantas disebut "wow". Terlepas dari lebih kurang perayaan HUT RI
ke-71 itu, semangat membangun negeri telah terpatri di hati saya. Yang
terpikir adalah menjadi kebanggaan negeri dengan kemampuan yang saya
miliki. Ingin rasanya mengukir prestasi sekaligus mengharumkan nama
bangsa. Semoga semangat membangun negeri akan terus terpatri di hati
sehingga ibu pertiwi akan bangga memiliki saya, kamu dan anak-anak
Indonesia lainnya sebagai bagian darinya. Merdeka!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar