Sabtu, 20 Agustus 2016

Seperti Baru Merdeka

Bagaimana perayaan 17 agustusan di tempatmu? Pasti banyak perlombaan yang kadang membuat jalan umum terpaksa ditutup. Atau jangan2 kamu pemenang lombanya? Selamat untuk kamu yang berhasil memenangkan lomba 17-an. Terlepas dari lomba-lomba yang diadakan, upacara bendera adalah hal sakral yang akan kita bahas kali ini. Begini, sebenarnya upacara bendera saat tujuh belas agustusan adalah hal yang telah berkali-kali saya lihat atau ikuti (waktu masih sekolah), tapi upacara bendera pada perayaan HUT RI ke-71 pada Rabu lalu terasa istimewa bagi saya. Pasalnya, perayaan HUT RI itu berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Bila biasanya bendera sang saka merah putih serta merta telah ada di dekat Presiden RI dan bisa langsung diserahkan ke anggota paskibraka yang membawa nampan, maka kali ini tidak begitu prosesnya.

Bendera yang merupakan simbol negara itu diarak dari monumen nasional (monas) menuju istana merdeka menggunakan kereta kencana. Semakin dramatis dengan antusiasme rakyat Indonesia yang mengikuti prosesi tersebut. Butuh waktu cukup lama hingga iring-iringan pembawa bendera sampai di lokasi upacara. Namun waktu itu tak terasa lama, karena sakralnya sungguh terasa. Bagi saya pribadi, menyaksikan arak-arakan itu lewat televisi terasa seperti menyaksikan proses persiapan proklamasi "sungguhan". Entah bagaimana, tapi menurut saya, ide tersebut berhasil menggugah rasa seolah 17 Agustus 2016 yang lalu bangsa ini baru merdeka. Perjalanan bendera itu berhasil menarik perhatian dan menyentuh perasaan saya. Saya ikuti semua prosesinya, dari pagi hari saat upacara penaikan bendera hingga sore hari saat upacara penurunan bendera.

Belum lagi trending topic di detik-detik perayaan tersebut soal dwi kewarganegaraan mantan Menteri ESDM Archandra dan anggota paskibraka asal Depok Gloria. Keduanya menjadi sorotan nasional. Isu nasionalisme melekat pada kasus mereka. Perayaan 71 tahun proklamasi kemerdekaan RI menjadi semakin dramatis karenanya. Soal pak Archandra, pesan yang saya tangkap adalah Indonesia sedemikian berwibawanya. Jika ingin menjadi bagian darinya, jangan coba-coba menduakan. Gloria lain lagi, siswi SMA itu menunjukkan kecintaannya pada ibu pertiwi meski ada darah lain yang mengalir di tubuhnya. Sayangnya, darah campuran itu mengaburkan cintanya, karena dinilai ada ketidakpastian di sana. Gloria tidak 100 % berdarah Indonesia, namun semangatnya menunjukkan sebaliknya. Semangatnya untuk membanggakan negeri lebih dari sebagian anak "murni" negeri ini. Meski berstatus anak "campuran", akhirnya Gloria diizinkan menjadi bagian paskibraka pada upacara penurunan bendera. Wajah sumringahnya menjadi center of interest kala itu. Sungguh dramatis sekaligus melegakan. Apalagi ada kisah petisi di balik izin itu. Namun yang paling menggetarkan jiwa adalah betapa ternyata menjadi Indonesia adalah harapan yang tak dengan mudah didapatkan semua orang. Bangga dan bahagia menyelimuti hati saya karena terlahir sebagai anak Indonesia "murni".

Tentu ada saja yang kurang, karena memang tidak ada yang sempurna. Seperti saat pesawat TNI mengudara sambil mengucapkan dirgahayu RI. Saya dibuat kagum melihatnya hingga mengucap Subhanallah (Maha Suci Allah). Bangga rasanya menjadi bagian dari Indonesia. Terharu melihat khidmatnya perayaan HUT negeri ini. Namun saat perasaan diaduk dalam rasa kagum dan haru, harapan untuk melihat "lebih" pupus begitu saja. Saya membayangkan akan ada pertunjukan "wah" saat itu. Tapi ternyata hanya "begitu saja" walau tetap pantas disebut "wow". Terlepas dari lebih kurang perayaan HUT RI ke-71 itu, semangat membangun negeri telah terpatri di hati saya. Yang terpikir adalah menjadi kebanggaan negeri dengan kemampuan yang saya miliki. Ingin rasanya mengukir prestasi sekaligus mengharumkan nama bangsa. Semoga semangat membangun negeri akan terus terpatri di hati sehingga ibu pertiwi akan bangga memiliki saya, kamu dan anak-anak Indonesia lainnya sebagai bagian darinya. Merdeka!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar