Sabtu, 17 Desember 2016

Minta Umroh, Dikasi Haji

Kisah ini terjadi tepat sepuluh tahun lalu. Saat itu, aku adalah mahasiswi tingkat akhir. Entah kenapa keinginan ke tanah suci menguasai hatiku. Sangat-sangat ingin. Padahal sebelumnya, tepatnya saat masih menjadi santri, keinginan itu tidak ada sama sekali di hatiku. Masih kuingat, betapa teman-temanku antusias dengan kepergian seorang teman untuk berhaji bersama keluarganya. Semua membincangkannya, berharap juga bisa kesana.

Sesaat itu, tanah suci Makkah-Madinah menjadi topik hangat di antara kami. Sementara itu, aku tidak merasakan apapun. Tak ada keinginan sama sekali. Aku lebih tertarik dan bermimpi ke Eropa. Aku bahkan heran dengan hatiku, takut malah. Kuucap istighfar berkali-kali dan mohon ampun pada Allah. "Apa yang salah dengan hamba, ya Allah? Mengapa keinginan itu tidak ada di hati hamba? Salahkah hamba? Dosakah? Anehkah? Normalkah hamba?", hatiku terus bertanya-tanya.

Kisah itupun berlalu begitu saja. Hingga saat aku kuliah dan alhamdulillah lebih dekat dengan Allah, keinginan itu datang begitu saja dan sungguh menggebu di kalbuku. Pernah ada teman yang menggelarku hajjah karena pakaianku yang dinilai lebih Islami dari sebelumnya. Kuaminkan sebutan itu dengan antusias dan penuh keyakinan. Begitu yakinnya aku hingga temanku merasa heran dengan sikapku. Kusampaikan bahwa aku meyakininya sebagai doa.

Panggilan mereka kuanggap jalan Allah untukku mewujudkan mimpi. Begitulah inginnya aku ke tanah haram. Tak selang berapa lama, seorang teman mengabarkan lomba menulis pantun yang diadakan sebuah stasiun radio. Hadiahnya adalah perjalanan umroh gratis. Aku bersemangat membuat pantun. Kutulis banyak pantun dan langsung kukirim lewat SMS, seperti yang disyaratkan. Keyakinanku, lomba itu ditakdirkan Allah untuk menjadi jalanku pergi ke rumah-Nya.

Lama kutunggu hari pengumuman. Saat hari yang dinanti datang, aku malah cemas, takut namaku tak ada di daftar pemenang. Kulihat pengumuman dengan hati berdegup. Kubaca perlahan, kuulang lagi, dan lagi. Namaku tak ada. Harus kuterima, namaku tak tertera di sana. Sedih, kecewa, teringat semua pantun yang kutulis penuh semangat, kukirim penuh keyakinan, kurasakan langkahku semakin dekat, ternyata pupus semua.

Satu hal yang sangat kusyukuri adalah ketenangan hati yang dianugerahkan Allah padaku waktu itu. Dalam hitungan menit, kuikhlaskan semua, kuterima bahwa aku bukan pemenangnya, bahwa kesempatan umroh dari lomba itu bukan takdirku. Seketika keyakinan baru hadir, "Bila Allah mengizinkan hal 'mengecewakan' ini terjadi, itu karena Allah sudah menyiapkan yang terbaik untukku. Mungkin bukan sekarang saatnya aku menjadi tamu-Nya, namun bila waktunya tiba, aku juga akan ke sana", demikian hatiku berkata-kata.

Tak perlu menunggu lama, keajaiban menghampiriku. Malam hari setelah kecewa yang kurasa, orangtuaku mengumpulkanku dan lima orang adikku untuk berdiskusi. Mamak menyampaikan hajatnya menunaikan ibadah haji dan menawarkan siapa di antara kami yang mau menjadi mahromnya. Tanpa pikir panjang, kuangkat tangan dan menyatakan kesediaan.

Adik-adikku diam membisu, tak ada keinginan itu di hati mereka rupanya. Persis potretku dulu. Kuceritakan kisahku gagal mendapat hadiah umroh dan merasa bahagia dengan kesempatan yang datang bak keajaiban. Mamak setuju membawaku pergi haji. Bapak yang sudah beberapa kali pergi sebagai petugas haji pun ikut senang dengan kesediaanku. Adik-adikku nurut saja, sama sekali tak menjadi pikiran mereka.

Entah seperti apa bahagianya aku malam itu. Umroh yang kuimpikan, kukejar sekuat tenaga, kubayang-bayangkan dengan penuh rasa, diganti Allah dengan haji bersama mamak. Hal indah lainnya adalah bahwa aku pergi haji setelah diwisuda. Kusebut semua itu keajaiban.

Terlepas dari ajaibnya hal itu bagiku, kupetik satu pelajaran penting. Bahwa kuncinya adalah ikhlas. Saat kurelakan takdirku, tak ada marah di hatiku, tetap kujaga husnudzdzon pada Allah, kudapat ganti yang lebih dari yang kumau. Pelajaran itulah yang terus kuulang kini, kuingat-ingat untuk menenangkan jiwa.

Bahwa ada doa yang belum terkabul, ada harap yang seakan menguap, ada mimpi yang masih bernama mimpi, haruslah kuterima dengan ikhlas. Namun doa tetap kupanjatkan dengan sepenuh hati, harap terus kuhidupkan dengan bersangka baik pada Allah, mimpi tetap terpatri di hati dengan keyakinan hati. Yakinku, tak lama lagi, Allah akan ganti semua doa, harap, dan mimpiku yang belum terkabul dengan hal yang lebih indah. More than I expected. In syaa Allah.
#30DWCHari17

Tidak ada komentar:

Posting Komentar