Senin, 05 Desember 2016

Silahkan Sholat, tapi Maukah?

Ini pengalamanku saat bekerja di sebuah LSM anak di Simeulue, Aceh. Meski berjulukan serambi Mekkah, banyak non muslim yang menambah populasi warga setempat. Pasalnya, setelah bencana tsunami memporakporandakan kota Aceh dan sekitarnya, banyak bantuan datang dari seluruh penjuru bumi. Tak sulit menemukan bule kala itu. Menariknya, bule-bule itu bukan sedang melancong, melainkan menjadi relawan kemanusiaan yang siap sedia membantu siapa saja.

Tak ada sekat ras di sana, agama pun tak mengkotak-kotakkan manusia, juga kewarganegaran yang tak jadi dinding pemisah antar manusia. Semua orang menyatu karena cinta. Cinta sesama manusia. Cinta sesama makhluk Allah yang Maha Esa. Potret itu begitu indah. Semua orang saling memikirkan, mendukung dan berusaha memberikan yang terbaik. Perbedaan bahasa tak menghalangi mereka untuk saling membantu. Komunikasi hati yang tulus melancarkan komunikasi lisan yang terputus-putus.

Akupun ingin menjadi bagian dari potret itu. Berbaur dengan orang-orang 'asing' yang seperti saudara sendiri. Bukankah semua manusia memang bersaudara? Bahkan al-Qur'an menegaskan hikmah di balik perbedaan yang melekat pada tiap-tiap orang. Allah menciptakan kita berbeda-beda bukan tanpa alasan. Tujuannya adalah agar kita saling mengenal. Selanjutnya, agar manusia dapat hidup berdampingan dalam kedamaian dan rasa aman.

Begitulah, sebuah bencana yang memporakporandakan hidup manusia di sebuah tempat dapat merajut persaudaraan manusia dari berbagai penjuru dunia. Singkat cerita, aku ditugaskan di sebuah pulau yang masih bagian Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Walau tidak banyak, ada beberapa bule yang bertugas di sana. Paling banyak adalah saudara setanah air dari luar pulau. Dan aku datang dari Medan.

Banyak hal yang menjadi cerita dan terus membekas di hati. Dari sekian banyak pengalaman, praktik toleransi menjadi catatan tersendiri bagiku. Bahwa setiap orang bebas dan berhak mengekspresikan diri tanpa kehilangan identitas. Begitupun aku dan teman-teman seiman lainnya. Kami menunaikan sholat lima waktu dengan mudah dan istiqomah berhijab. Sekalipun ketika mengikuti rapat atau acara yang dipimpin oleh non muslim.

Suatu waktu, kami mengadakan sebuah rapat dengan perwakilan yang datang dari kantor pusat. Mulai dari semacam pelatihan hingga membahas proyek-proyek lanjutan. Kebetulan yang mengisi acaranya adalah seorang non muslim. Ketika waktu Zuhur tiba, non muslim yang memimpin acara mempersilahkan peserta muslim untuk sholat. Namun yang beranjak dari tempat duduk hanya hitungan kurang dari lima jari. Apa yang salah?

Hal inilah yang kemudian kuhighlight dan menjadi renungan. Betapa kita sebagai muslim seringkali tidak mensyukuri sikap toleransi yang ditunjukkan non muslim. Barulah saat non muslim berulah dengan bersikap intoleran, kita marah bahkan mengamuk. Dalam kasus ini, saat sholat tak lagi leluasa dilaksanakan, barulah kita sibuk meneriakkan suara minta keadilan.

Kita hendaknya bersyukur dan menikmati kemudahan dan kenyamanan beribadah yang dihadiahkan Allah untuk Indonesia. Karena nyatanya, kadang kita sibuk bicara intoleransi soal ini-itu. Seolah negeri ini banyak salahnya; bukan rumah yang membuat betah. Padalah banyak toleransi yang patut disyukuri. Bahkan lupa kita nikmati. Jangan sampai ada larangan beribadah, baru kita berniat sholat. Jangan sampai ada larangan menutup aurat, baru kita ingin berhijab. Jangan sampai...
#30DWCHari5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar