Dua hari lalu, seorang teman menyampaikan curahan hatinya. Dia berkisah tentang kegelisahannya menanti jodoh. Betapa galaunya hingga semua perhatiannya hanya tertuju pada kekurangannya itu. Sebelum berkeluh-kesah, ia memulai perbincangan dengan sebuah pertanyaan. "Afifah gak pernah galau ya? Enak ya hidupnya happy terus," demikian ujarnya. Aku hanya tersenyum menjawabnya.
Kusampaikan padanya bahwa semua orang pasti pernah galau, gelisah, kecewa, sedih atau apapun padanan kata lainnya. Begitupun aku. Sudah kujalani saat-saat galau yang susah dihalau. Aku bersyukur Allah menjaga hatiku dan membimbingku mengubah galau menjadi bahagia. Kujelaskan panjang lebar padanya.
Hal pertama yang kulakukan adalah menerima kenyataan. Kuakui bahwa aku belum menikah, tapi bukan berarti aku sendiri. Aku memiliki mamak dan bapak. Aku bahkan memiliki 5 orang adik. Mengapa aku harus sibuk mengeluhkan suami yang belum kunjung datang dengan mengabaikan keluarga besarku yang sungguh kusayang?
Temanku itu manggut-manggut mendengarkan. Lalu kusampaikan bahwa adik perempuanku satu-satunya telah menikah dan memiliki seorang anak laki-laki. Keponakan yang kuanggap seperti anak sendiri. Kunikmati menjadi seorang 'ammah (begitu dia memanggilku) untuknya. Seketika temanku itu menyela. "Afifah dilangkahi?", tanyanya penuh keheranan. Bagaimana bisa aku terlihat bahagia dengan kenyataan dilangkahi adik perempuan? Temanku itu tak habis pikir.
Kutegaskan tak ada yang salah dengan keadaan itu. Adikku tidak bersalah. Akupun bukan berarti bermasalah. Semua adalah ketentuan Allah. Bila diizinkan Allah terjadi, maka itulah yang terbaik. Aku sama sekali tidak mempermasalahkannya. Sangat kunikmati memiliki keponakan yang tampan dan cerdas. Kumaknai kehadirannya sebagai sebuah rezeki.
Temanku semakin bingung. Dia yang secara usia lebih muda dariku, ditambah statusku yang 'dilangkahi' adik perempuanku, merasa tak ada yang pantas dikeluhkan padaku soal penantian jodoh. Tapi di sisi lain, hatinya juga tak mampu menganggap semua baik-baik saja. Masih saja ada kerutan di dahinya mencerna penjelasanku.
Aku sudah berupaya menenangkan hatinya, tapi ia-lah sang decision maker (pembuat keputusan). Sepanjang perjalanan pulang di atas kereta, kurenungkan kegalauan yang membebaninya. Ternyata, bahagia hanya bagi mereka yang bersyukur. Saat ini, temanku itu tidak bahagia dengan keluarga yang dimilikinya karena fokus pada suami yang belum dimilikinya.
Andaipun ia bersuami nanti, ia tidak akan bahagia jika fokus pada anak yang belum menjadi bagian keluarga kecil mereka. Setelah diamanahi anak, ia pun masih tak bahagia karena sibuk mengeluhkan rumah yang masih mengontrak. Setelah punya rumah, keinginan punya mobil hadir mengaburkan nikmat rumah, anak, suami, dan keluarga. Begitu seterusnya, hingga dunia ini jadi miliknya pun ia tak akan pernah bahagia. Maka bersyukurlah, kau akan bahagia. In syaa Allah.
#30DWCHari25
Tidak ada komentar:
Posting Komentar