Jangan ditanya berapa kali aku ditanya "Kapan...?" Apalagi kalau bukan, "Kapan nikah?" Belum lagi kalau dikait-kaitkan dengan adikku yang sudah lebih dulu ke pelaminan. Kata orang-orang, aku dilangkahi, tapi aku malah merasa biasa saja. Menurutku, istilah itu terlalu kasar, seakan adikku tidak tahu sopan santun dengan menikah duluan. Padahal kan emang jodohnya datang lebih awal dan itu rezekinya, ya sudah.
Kembali soal ditanya-tanya "kapan". Awalnya aku kesal campur dongkol ditanya terus, ada sedih dan malu juga, tepatnya minder. Terus-terusan ditanya dengan pertanyaan nyelekit itu menciutkan rasa percaya diriku. Nada tanya mereka membuatku merasa buruk. Pandangan mereka mengesankanku seorang wanita yang gagal. Belum lagi kadang disertai seringai senyum plus tawa merendahkan.
Suatu hari, pertanyaan yang sama mendarat lagi di telingaku. Yang bertanya seorang teman. Dengan percaya diri yang kubangun mati-matian, kusikapi pertanyaan memuakkan itu dengan tenang plus senyum menawan. Kubilang, "Kenapa kamu yang pusing? Aku aja santai, bahagia malah. Gak kebayang gimana bahagianya nanti kalau nikah, sekarang aja masih sendiri udah super bahagia, alhamdulillah."
Di luar dugaan, dia bingung. Terlihat jelas dia berusaha menekanku dengan mengulang pertanyaan beberapa kali dan mengusik rasa nyamanku dengan perbincangan seputar pernikahan dan rumah tangga. Semakin terobsesi dia menghancurkan rasa tenangku, semakin hancur dia. Akhirnya (ini puncaknya), dia menyerah. Jangan bayangkan dia mengangkat tangan dan bilang, "Stop, aku udah gak kuat". Dia malah curhat menyesal sudah menikah. Berbalik 180 derajat, dia malah bilang iri padaku yang belum menikah.
Menurut pengakuannya, dia merasa terkekang dan tidak bebas seperti dulu sebelum menikah. Belum lagi masalah rumah tangga yang tidak terduga. Aku mendengarkan sambil bercakap-cakap dalam hati. "Ternyata orang yang sibuk mengomentari kekurangan orang lain adalah orang yang paling kurang, karena sesungguhnya ia sedang mencari orang yang lebih kurang darinya untuk membuatnya bahagia atas keadaannya."
Temanku itu terus mengoceh, tapi tak ada lagi kata-katanya yang kusimak, karena hatiku pun punya banyak kata; kata-kata penyemangat jiwa yang semakin mengokohkan rasa percaya diriku. Bahwa aku (dan semua wanita berkeadaan serupa) adalah wanita-wanita istimewa yang ditangguhkan Allah pernikahannya untuk menjadi lebih dewasa. Hingga saat tiba masanya nanti, aku juga akan naik pelaminan, bergelar nyonya dan menjadi ibunda. Insya Allah.
#30DWCHari4
Tidak ada komentar:
Posting Komentar