Sabtu, 31 Desember 2016

Bakat vs Minat

Benarkah bakat adalah penentu kesuksesan? Apakah kesuksesan hanya milik mereka yang berbakat? Bagaimana dengan orang-orang yang sangat berminat namun kurang berbakat, akankah kesuksesan menjadi milik mereka juga?

Bakat memang kerap dihubungkan dengan kesuksesan, tapi bukanlah satu-satunya modal sukses. Banyak orang berbakat yang tak menjadi apa-apa karena hanya berdiam diri. Sebaliknya, tak sedikit orang minim bakat yang sukses karena kaya minat.

Minat yang mendominasi hati akan mengarahkan langkah menuju kesuksesan. Meski harus memulai langkah dari nol, perjalanan panjang menuju sukses juga bisa dinikmati. Hasil tentu menjadi tujuan, tapi proses adalah pengalaman.

Lalu, masihkah kita beranggapan bahwa bakat adalah segala-galanya dan minat tak menyumbang apa-apa? Ketahuilah, bakat yang terpendam adalah kesia-siaan. Pahamilah, minat plus perjuangan akan menghasilkan karya yang mencengangkan.

Jumat, 30 Desember 2016

Tulisan yang Menyembuhkan

Hari ini adalah hari terakhir kami menjalani 30DWC (30 Days Writing Challenge). Layaknya pelaksanaan puasa Ramadhan, besok adalah hari raya. Senang tentunya, karena kami bisa melewatinya dengan baik. Sedih juga ada, karena sudah terbiasa menulis bersama-sama.

Lebih dari rasa senang dan sedih, rasa khawatir menyelimutiku. Khawatir kebiasaan hebat ini berhenti sampai malam ini. Khawatir tidak mampu mengarahkan kebiasaan menulis untuk menghasilkan karya-karya terbaik. 

Menulis bagiku adalah mencurahkan isi hati, menyampaikan opini, atau membagikan pengalaman. Apapun isi tulisannya, yang penting adalah seberapa bermanfaat tulisan itu, bagiku (sebagai penulis) dan bagimu (sebagai pembaca). Aku menyebutnya 'tulisan yang menyembuhkan'. 

Sembuh dari rasa sakit, galau, kecewa, atau putus asa. Juga sembuh dari ketidaktahuan, keingintahuan, atau ke'salahtahu'an. Tak perlu jauh kucari ide; kutanya hati, kubuka pikiran, atau kubongkar memori. Semua sudah Allah beri, karena modal utama menulis adalah semangat memberi. 
#30DWCHari30




Kamis, 29 Desember 2016

Mengajar dan Menulis

Mengajar dan menulis adalah dua hal yang kugeluti saat ini. Keduanya bisa dilakukan berbarengan, bahkan saling mendukung. Sebagai dosen, tentu tugas utamaku adalah mengajar. Selain itu, ada pula tugas menulis yang diawali dengan meneliti.

Berdasarkan pengalaman, kedua aktivitas tersebut adalah yang paling nyaman dilakukan seorang perempuan. Sudah kualami bekerja dengan LSM di sebuah pulau. Menjadi media officer adalah hal seru untuk seorang fresh graduate sepertiku saat itu. Kendala justru datang dari keluarga, terutama bapak yang kurang setuju dengan keputusanku pergi jauh dari keluarga.

Selanjutnya, aku pernah magang sebagai wartawan selama 3 bulan. Kuputuskan mengakhiri perjalananku setelah masa magang berakhir karena dari sana kutahu bahwa selalu ada kepentingan yang diperjuangkan. Masalahnya, kepentingan mereka tak sejalan dengan kepentinganku.

Lagi-lagi, aku bekerja di media. Saat itu, di sebuah media online. Bertugas sebagai editor, aku bekerja dari pagi menjelang siang hingga malam hari. Setiap hari aku bekerja, bahkan di akhir pekan, meski tidak sepenuh hari. Saat itu, aku layaknya anak kos. Tinggal serumah dengan keluarga, tapi tak ada waktu untuk bercengkerama.

Setelah menyelesaikan S2 dan tak lagi nyaman bekerja sebagai karyawan, kuputuskan menjadi pendidik. Ingin cepat-cepat kuakhiri kerja 'malam'ku. Keselamatan harus selalu diutamakan, begitu pikirku. Langsung kusanggupi tawaran menjadi asisten dosen. Selang dua tahun, aku resmi menjadi dosen.

Kini, sambil mengajar, kunikmati lagi aktivitas merangkai kata. Kurajut lagi mimpi menulis buku. Kuteguhkan hati menjadi peneliti. Karena dosen memang harus meneliti dan menulis. Alhamdulillah fi kulli hal. Aku bersyukur untuk nikmat profesi yang Allah beri.

Bagiku, bahagia adalah saat melakukan hal yang kucintai. Mengajar dan menulis adalah dua hal yang kucintai. Tak pernah terasa sedang bekerja, karena hati hadir di sana. Harapanku adalah menjadi yang terbaik di keduanya. Menjadi sebaik-baik manusia dengan memberi sebanyak-banyak manfaat melalui keduanya. In syaa Allah.
#30DWCHari29

Rabu, 28 Desember 2016

Bukan Tahun Baruku

Sebentar lagi, 2017 akan hadir menggantikan 2016. Tak terasa waktu berlalu begitu cepat. Banyak yang terjadi, banyak pula mimpi yang masih berstatus mimpi.

Bicara soal tahun baru, erat kaitannya dengan evaluasi dan resolusi. Evaluasi menganalisis jejak langkah sepanjang tahun. Resolusi merencakan kesuksesan di masa depan.

Tahun baru Masehi adalah tahun baru yang umum diketahui. Sementara tahun baru Hijriah yang ada di kalender Islam biasanya hanya dirayakan seadanya dan oleh segelintir muslim saja.

Parahnya lagi, penanggalan Islam seringkali hanya dilirik dan dijadikan acuan setahun sekali. Tepatnya saat muslim Indonesia ingin mengetahui awal dan akhir Ramadhan.

Terlepas dari kurang populernya kalender Hijriah di Indonesia, aku ingin lebih sering menggunakannya. Setidaknya akan kumulai dengan menyandingkan kedua kalender.

Tak ingin lagi aku sibuk dengan tahun baru Masehi dan mengacuhkan tahun baru Hijriah. Seorang ustadz berpesan, "Siapa yang merayakan tahun baru Masehi, maka ia bagian dari mereka".

Aku tak ingin digolongkan demikian. Tahun baru Hijriah adalah tahun baruku. Tahun baru yang akan selalu menjadi langkah baru untuk hijrah pada kehidupan yang lebih baik.
#30DWCHari28


Selasa, 27 Desember 2016

Hari Ini adalah Masa Depan

Ada tiga pembagian waktu yang umum diketahui masyarakat; masa lalu, masa kini, dan masa depan. Masa lalu adalah masa yang telah dilewati. Masa kini adalah masa yang sedang dijalani. Masa depan adalah masa yang akan dilalui.

Bicara masa depan, banyak yang terjebak dengan mengacuhkan hari ini. Setiap hari disibukkan untuk memiliki masa depan cerah. Pandangan dan pikiran tertuju ke masa depan dengan ragam rencana plus khayalan.

Sampai-sampai, masa kini tidak lagi dihiraukan. Nyatanya, kita seringkali lupa bahwa masa kini adalah masa depan. Lebih spesifik, hari ini adalah masa depan. Potret kita hari ini adalah gambaran masa depan kita.

Sebuah ungkapan Arab menyebutkan,
man yazro' yahshud (Barangsiapa menanam akan menuai). Jelaslah bahwa masa depan kita bisa diprediksi dengan melihat masa kini kita. Itu berarti, hari ini adalah juga penentu.

Jika kita ingin memiliki masa depan yang cerah, hal utama yang harus kita lakukan adalah memperbaiki masa kini kita. Sebagai contoh, kita ingin memiliki rumah dan mobil di masa depan, maka kita harus berusaha di masa kini.

Masa kini sangat luas maknanya. Bisa berarti sebulan ini, dua bulan ini, bahkan setahun ini. Kita perlu pembatasan waktu untuk menghindari penundaan aksi. Maka, masa kini adalah hari ini.

Pertanyaannya, apa yang sudah kita lakukan hari ini untuk masa depan impian kita? Adakah yang kita lakukan mengarahkan kita ke sana atau justru sebuah kemunduran? Untuk masa depan cerah, hari ini aku...
#30DWCHari27


30DWC yang Menginspirasi

30DWC (30 Days Writing Challenge) adalah tantangan menulis 30 hari yang tidak hanya dimaksudkan untuk menulis selama sebulan saja. Bagaimana kebiasaan menulis yang sudah dibentuk dapat dilanjutkan adalah tujuan utamanya.

Selain kebiasaan menulis yang terbentuk melaluinya, banyak inspirasi yang hadir dari mengikuti tantangan ini. Salah satunya adalah yang kutawarkan pada TEFLIN saat mengikuti seminar internasional baru-baru ini.

TEFLIN adalah organisasi profesi yang mengumpulkan pengajar Bahasa Inggris seluruh Indonesia. Maka, saran yang kusampaikan saat itu adalah mengadaptasi kegiatan 30DWC untuk meningkatkan kemampuan menulis anggota TEFLIN secara online.

Adaptasi yang kumaksud adalah dengan membuat kegiatan serupa bernama 3MWC (3 Months Writing Challenge). Kenapa 3 bulan adalah karena targetnya adalah scientific writing yang membutuhkan banyak referensi plus penelitian.

Mengenai deadline, kusarankan untuk dibuat setiap minggu. Lalu akan ada evaluasi dari para ahli yang kompeten. Selain itu, diskusi semacam KOUF (Kelas Online Upgrading Fighter) akan dilakukan setiap bulan. Hal-hal teknis lainnya kuserahkan pada TEFLIN.

Banyak hal yang sesungguhnya menjadi cerita dari 30DWC. Banyak inspirasi dan ide yang menyegarkan pikiran. Banyak rencana yang terpikirkan dan ingin diwujudkan. Saran tadi hanya sekelumit yang in syaa Allah menjadi kebaikan untuk banyak orang. Aamin.
#30DWCHari26

Senin, 26 Desember 2016

30DWC, Apa dan Mengapa

Hari ini tepat 26 hari aku mengikuti 30DWC (30 Days Writing Challenge, tantangan menulis 30 hari). Di sini, seluruh peserta harus memposting tulisan di blog atau laman menulis lainnya di media sosial setiap hari sebelum pukul sepuluh malam. Setelah itu, menyetor link tulisan ke grup untuk direkap.

Dalam tantangan ini, ada beberapa istilah yang digunakan. Fighter adalah sebutan untuk seluruh peserta. Squad adalah kumpulan sekelompok fighter. Guardian adalah ketua squad. Empire adalah grup besar atau keseluruhan fighter. Ada pula KOUF, yaitu Kelas Online Upgrading Fighter.

Selain menjadi fighter, akupun mengajukan diri dan menyanggupi menjadi guardian. Bila fighter hanya harus mempublikasikan tulisan di blog masing-masing dan menyetorkan linknya ke grup squad, maka guardian  adalah yang bertugas merekap tulisan seluruh fighter di squadnya dan memyetorkannya ke grup empire.

Masih kuingat bagaimana sibuknya aku di hari pertama hingga kupikir tak mungkin bisa kuselesaikan tugasku sebagai fighter, apalagi sebagai guardian. Tapi alhamdulillah aku bisa melewati ujian itu. Hingga hari ketiga, kesulitan masih kurasa. Barulah di hari-hari berikutnya aku lebih santai karena sudah terbiasa.

Selama hampir sebulan, dua kali aku terlambat memposting tulisan. Lalu di hari ke-22 dan 23 aku tak menyetor tulisan karena sibuk dengan presentasiku di sebuah seminar. Walau aku tak bisa menyelesaikan tulisan selama dua hari, namun tugas sebagai guardian tak kutinggalkan begitu saja.

Tugas memberi  feedback (yang datang kemudian) juga kuselesaikan meski kurang maksimal. Tugas membuat quote adalah tugas lain yang sangat menyenangkan. Saat dapat ide, langsung kudesain quoteku dan kushare, berbagi motivasi dan inspirasi.

Alasanku mengikuti tantangan ini adalah untuk membiasakan diri menulis. Setiap hari harus bisa menyelesaikan satu tulisan dengan target dan 'dipaksa'. Keterpaksaan terkadang adalah jalan satu-satunya menuju kesuksesan. Lebih dari pembiasaan, akupun memiliki impian lainnya. Aku ingin menulis dan menerbitkan buku keduaku yang kutargetkan akan mengukuhkan namaku sebagai penulis nasional.

Kini, 4 hari menuju garis finish, stok ide dan semangat semakin menipis. Sempat kurasa bingung akan menulis apa. Alhamdulillah dalam program 30DWC, ada KOUF yang selalu dimaksudkan untuk mengawal seluruh fighters menyelesaikan seluruh tantangan. Malam ini aku tercerahkan. Kuteguhkan hati untuk terus menulis. Teringat tujuan awalku menyanggupi tantangan ini. Bukan hanya sekedar kejar setoran, tapi menghasilkan tulisan yang berkualitas. In syaa Allah.
#30DWCHari22

Minggu, 25 Desember 2016

Galau jadi Bahagia

Dua hari lalu, seorang teman menyampaikan curahan hatinya. Dia berkisah tentang kegelisahannya menanti jodoh. Betapa galaunya hingga semua perhatiannya hanya tertuju pada kekurangannya itu. Sebelum berkeluh-kesah, ia memulai perbincangan dengan sebuah pertanyaan. "Afifah gak pernah galau ya? Enak ya hidupnya happy terus," demikian ujarnya. Aku hanya tersenyum menjawabnya.

Kusampaikan padanya bahwa semua orang pasti pernah galau, gelisah, kecewa, sedih atau apapun padanan kata lainnya. Begitupun aku. Sudah kujalani saat-saat galau yang susah dihalau. Aku bersyukur Allah menjaga hatiku dan membimbingku mengubah galau menjadi bahagia. Kujelaskan panjang lebar padanya.

Hal pertama yang kulakukan adalah menerima kenyataan. Kuakui bahwa aku belum menikah, tapi bukan berarti aku sendiri. Aku memiliki mamak dan bapak. Aku bahkan memiliki 5 orang adik. Mengapa aku harus sibuk mengeluhkan suami yang belum kunjung datang dengan mengabaikan keluarga besarku yang sungguh kusayang?

Temanku itu manggut-manggut mendengarkan. Lalu kusampaikan bahwa adik perempuanku satu-satunya telah menikah dan memiliki seorang anak laki-laki. Keponakan yang kuanggap seperti anak sendiri. Kunikmati menjadi seorang 'ammah (begitu dia memanggilku) untuknya. Seketika temanku itu menyela. "Afifah dilangkahi?", tanyanya penuh keheranan. Bagaimana bisa aku terlihat bahagia dengan kenyataan dilangkahi adik perempuan? Temanku itu tak habis pikir.

Kutegaskan tak ada yang salah dengan keadaan itu. Adikku tidak bersalah. Akupun bukan berarti bermasalah. Semua adalah ketentuan Allah. Bila diizinkan Allah terjadi, maka itulah yang terbaik. Aku sama sekali tidak mempermasalahkannya. Sangat kunikmati memiliki keponakan yang tampan dan cerdas. Kumaknai kehadirannya sebagai sebuah rezeki.

Temanku semakin bingung. Dia yang secara usia lebih muda dariku, ditambah statusku yang 'dilangkahi' adik perempuanku, merasa tak ada yang pantas dikeluhkan padaku soal penantian jodoh. Tapi di sisi lain, hatinya juga tak mampu menganggap semua baik-baik saja. Masih saja ada kerutan di dahinya mencerna penjelasanku.

Aku sudah berupaya menenangkan hatinya, tapi ia-lah sang decision maker (pembuat keputusan). Sepanjang perjalanan pulang di atas kereta, kurenungkan kegalauan yang membebaninya. Ternyata, bahagia hanya bagi mereka yang bersyukur. Saat ini, temanku itu tidak bahagia dengan keluarga yang dimilikinya karena fokus pada suami yang belum dimilikinya.

Andaipun ia bersuami nanti, ia tidak akan bahagia jika fokus pada anak yang belum menjadi bagian keluarga kecil mereka. Setelah diamanahi anak, ia pun masih tak bahagia karena sibuk mengeluhkan rumah yang masih mengontrak. Setelah punya rumah, keinginan punya mobil hadir mengaburkan nikmat rumah, anak, suami, dan keluarga. Begitu seterusnya, hingga dunia ini jadi miliknya pun ia tak akan pernah bahagia. Maka bersyukurlah, kau akan bahagia. In syaa Allah.
#30DWCHari25

Sabtu, 24 Desember 2016

Selalu Ada Kepentingan

Apapun yang dilakukan
Selalu ada kepentingan
Siapapun yang diajukan
Selalu ada kepentingan

Ini bebas kepentingan
Itu murni tanpa keinginan
Saya tak butuh balasan
Kami datang tanpa alasan

Semua hanyalah gurauan
Bukan begitu kenyataan
Selaraskan keinginan
Selalu ada kepentingan
#30DWCDay23





Aku Tak Butuh Doanya

Dua hari lalu adalah 22 Desember. Hari ibu. Tapi bagiku, setiap hari adalah hari ibu. Tak lengkap hari tanpa mamak, begitu aku memanggil ibuku. Selalu terasa kurang bila sehari tak bersamanya; berbincang, boncengan naik kereta (sepeda motor), makan bersama, atau sekedar bertelepon saat sedang berjauhan. SMS-an tak pernah cukup kurasa, selalu ingin kudengar suaranya. Akan kupastikan nada suaranya menyiratkan bahagianya. Tak ada bahagia kurasa bila mamak tak bahagia.

Sedih yang kurasa mungkin menyiksaku. Tapi nyatanya, mamaklah yang paling menderita. Muka suramku membuatnya khawatir tak karuan. Lukaku telah sembuh, namun khawatirnya masih saja bersisa. Saat bahagia menyapaku, mamaklah yang paling berbunga-bunga. Wajah cerianya menyiratkan cinta yang tak terlukis untukku. Senyumku bagaikan madu baginya; manis dan menyehatkan jiwa.

Mamakku..tak pernah terlewat satu hari tanpa doa panjangnya untukku. Waktunya seakan habis untuk mendoakanku. Memohonkan kebaikan untukku. Bahagianya bahkan luput dari daftar doanya. Tak ada keinginannya, selain melihatku bahagia.

Seperti orang yang kekenyangan setelah disuguhi banyak makanan, begitulah aku memaknai doa mamak untukku. Tak butuh doanya bukan berarti aku tak mau didoakan lagi, tapi karena aku telah dibuat kenyang dengan doa-doa panjangnya untukku. Sebelum kuminta, mamak sudah memberi doa dan cintanya tanpa terbendung banyaknya.

Cintaku pada mamak mungkin takkan pernah bisa menyamai cinta mamak padaku, namun aku juga ingin mencinta. Mengucapkan selamat hari ibu bukanlah budaya di keluargaku, tapi berjuta doa kupanjatkan untuk mamak. Semua mimpi dan cita-citaku, kuikrarkan sebagai jalan membahagiakannya. Karena mamaklah yang paling berhak kubahagiakan dari siapapun di dunia ini.

Pada Allah selalu kumohon agar memberiku kemampuan dan kesempatan membahagiakan mamak. Memberi kami waktu panjang untuk bersama dalam bahagia. In syaa Allah.
#30DWCDay24

Rabu, 21 Desember 2016

No Matter What

No matter what they say
I'll never stay
Move on, move up
Never give up

No matter what they think
I'll do make thing
Dream will come true
Keep going through

No matter what they guess
I'll be the highest
Upgrade myself
And to be safe

No matter what they blame
I'll have that fame
Be on top
Never stop
#30DWCHari21

Senin, 19 Desember 2016

Jomblo karena Allah

Kulihat semua orang berpasangan 
Bergandengan tangan menapaki jalan
Saling menatap menebar senyuman
Tak ada aral yang mereka hiraukan 

Apalah arti hidup bersendirian
Sungguh tak pernah jadi pilihan
Banyak pula yang memberi hinaan
Atau menjadikannya bahan olokan

Jomblo atau single adalah sebutan
Kadang 'pemain tunggal' jadi panggilan
Status yang sering dipertanyakan
Karena masih terus dipertahankan

Kupilih jalan itu tentu beralasan
Bukan pilihan asal-asalan
Karena itu perintah Tuhan
Hingga saat tiba hadirnya pasangan

Pasangan yang sah di mata Tuhan
Dihalalkan lewat sebuah pernikahan
Ijab qobul lancar diucapkan
Doa tulus pun serentak dilantunkan

Sebelum sampai di pernikahan
Kupilih jalan bersendirian 
Kujaga jarak dari berduaan
Agar mulia di sisi Tuhan

Ya Allah, karena-Mu semua kulakukan
Jalan-Mu kujadikan pilihan
Pada-Mu kumohon kemuliaan
Dengan yang terbaik aku disandingkan
#30DWCHari19

Minggu, 18 Desember 2016

Muslimah Sekedarnya

Aku adalah muslimah sejak lahir, dan sungguh bersyukur untuk itu. Dari kecil hingga kini, aku diajarkan nilai-nilai Islami dan dicontohkan tata cara ibadah yang baik dan benar. Semua kujalani dengan penuh kebahagiaan. Saat kelas 5 SD, aku sudah dibiasakan menggunakan hijab ke sekolah dan ke acara-acara tertentu. Walaupun di lingkungan rumah aku tidak menggunakannya, tapi aneh rasanya bila bepergian tanpa hijab.

Setamat SD, aku diasramakan di pondok pesantren hingga menamatkan sekolah menengah atasku. Aku nyantri selama 6 tahun disana. Suasana Islami benar-benar kualami sepanjang hidupku. Sholat, puasa, zakat, hingga berhaji alhamdulillah telah kutunaikan. Syahadat bahkan setiap sholat kuikrarkan. Rukun Islam yang lima telah sempurna kulaksanakan. Rukun iman yang enam pun sepenuh hati kuyakini. Namun cukupkah itu? Hatiku menjawab, "Tidak". Kalau begitu, dimana kurangnya?

Setelah kuamati, ternyata yang kurang adalah ruh ibadah-ibadah yang kulakukan. Terkadang aku sholat, tapi hanya sekedar sholat, tak ada khusyu'. Seringkali saat puasa, aku masih mengghibah, masih melalaikan sholat, lebih banyak tidur. Membaca al-Qur'an malas-malasan. Bersedekah diumbar-umbar dan sangat sedikit. Tak ada gairah dalam beribadah, hanya sekedar menunaikan kewajiban. Yang penting sudah dilakukan, kualitas urusan belakang, atau bahkan tak masuk hitungan.

Bertambah usia alhamdulillah bertambah pula kedewasaanku mengenal Allah, meneladani Rasulullah saw dan memahami Islam. Hingga kusadari khilafku, salahku, dan keliruku memaknai agamaku. Kini, kuikrarkan di hati, ingin menjadi muslimah sebenarnya. Akan kumasuki Islam secara keseluruhan. Seperti firman Allah, udkhuluu fissilmi kaaffah. "Masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan". Takkan kusia-siakan hidupku dengan hanya menjadi muslimah sekedarnya. In syaa Allah.
#30DWCHari18

Sabtu, 17 Desember 2016

Minta Umroh, Dikasi Haji

Kisah ini terjadi tepat sepuluh tahun lalu. Saat itu, aku adalah mahasiswi tingkat akhir. Entah kenapa keinginan ke tanah suci menguasai hatiku. Sangat-sangat ingin. Padahal sebelumnya, tepatnya saat masih menjadi santri, keinginan itu tidak ada sama sekali di hatiku. Masih kuingat, betapa teman-temanku antusias dengan kepergian seorang teman untuk berhaji bersama keluarganya. Semua membincangkannya, berharap juga bisa kesana.

Sesaat itu, tanah suci Makkah-Madinah menjadi topik hangat di antara kami. Sementara itu, aku tidak merasakan apapun. Tak ada keinginan sama sekali. Aku lebih tertarik dan bermimpi ke Eropa. Aku bahkan heran dengan hatiku, takut malah. Kuucap istighfar berkali-kali dan mohon ampun pada Allah. "Apa yang salah dengan hamba, ya Allah? Mengapa keinginan itu tidak ada di hati hamba? Salahkah hamba? Dosakah? Anehkah? Normalkah hamba?", hatiku terus bertanya-tanya.

Kisah itupun berlalu begitu saja. Hingga saat aku kuliah dan alhamdulillah lebih dekat dengan Allah, keinginan itu datang begitu saja dan sungguh menggebu di kalbuku. Pernah ada teman yang menggelarku hajjah karena pakaianku yang dinilai lebih Islami dari sebelumnya. Kuaminkan sebutan itu dengan antusias dan penuh keyakinan. Begitu yakinnya aku hingga temanku merasa heran dengan sikapku. Kusampaikan bahwa aku meyakininya sebagai doa.

Panggilan mereka kuanggap jalan Allah untukku mewujudkan mimpi. Begitulah inginnya aku ke tanah haram. Tak selang berapa lama, seorang teman mengabarkan lomba menulis pantun yang diadakan sebuah stasiun radio. Hadiahnya adalah perjalanan umroh gratis. Aku bersemangat membuat pantun. Kutulis banyak pantun dan langsung kukirim lewat SMS, seperti yang disyaratkan. Keyakinanku, lomba itu ditakdirkan Allah untuk menjadi jalanku pergi ke rumah-Nya.

Lama kutunggu hari pengumuman. Saat hari yang dinanti datang, aku malah cemas, takut namaku tak ada di daftar pemenang. Kulihat pengumuman dengan hati berdegup. Kubaca perlahan, kuulang lagi, dan lagi. Namaku tak ada. Harus kuterima, namaku tak tertera di sana. Sedih, kecewa, teringat semua pantun yang kutulis penuh semangat, kukirim penuh keyakinan, kurasakan langkahku semakin dekat, ternyata pupus semua.

Satu hal yang sangat kusyukuri adalah ketenangan hati yang dianugerahkan Allah padaku waktu itu. Dalam hitungan menit, kuikhlaskan semua, kuterima bahwa aku bukan pemenangnya, bahwa kesempatan umroh dari lomba itu bukan takdirku. Seketika keyakinan baru hadir, "Bila Allah mengizinkan hal 'mengecewakan' ini terjadi, itu karena Allah sudah menyiapkan yang terbaik untukku. Mungkin bukan sekarang saatnya aku menjadi tamu-Nya, namun bila waktunya tiba, aku juga akan ke sana", demikian hatiku berkata-kata.

Tak perlu menunggu lama, keajaiban menghampiriku. Malam hari setelah kecewa yang kurasa, orangtuaku mengumpulkanku dan lima orang adikku untuk berdiskusi. Mamak menyampaikan hajatnya menunaikan ibadah haji dan menawarkan siapa di antara kami yang mau menjadi mahromnya. Tanpa pikir panjang, kuangkat tangan dan menyatakan kesediaan.

Adik-adikku diam membisu, tak ada keinginan itu di hati mereka rupanya. Persis potretku dulu. Kuceritakan kisahku gagal mendapat hadiah umroh dan merasa bahagia dengan kesempatan yang datang bak keajaiban. Mamak setuju membawaku pergi haji. Bapak yang sudah beberapa kali pergi sebagai petugas haji pun ikut senang dengan kesediaanku. Adik-adikku nurut saja, sama sekali tak menjadi pikiran mereka.

Entah seperti apa bahagianya aku malam itu. Umroh yang kuimpikan, kukejar sekuat tenaga, kubayang-bayangkan dengan penuh rasa, diganti Allah dengan haji bersama mamak. Hal indah lainnya adalah bahwa aku pergi haji setelah diwisuda. Kusebut semua itu keajaiban.

Terlepas dari ajaibnya hal itu bagiku, kupetik satu pelajaran penting. Bahwa kuncinya adalah ikhlas. Saat kurelakan takdirku, tak ada marah di hatiku, tetap kujaga husnudzdzon pada Allah, kudapat ganti yang lebih dari yang kumau. Pelajaran itulah yang terus kuulang kini, kuingat-ingat untuk menenangkan jiwa.

Bahwa ada doa yang belum terkabul, ada harap yang seakan menguap, ada mimpi yang masih bernama mimpi, haruslah kuterima dengan ikhlas. Namun doa tetap kupanjatkan dengan sepenuh hati, harap terus kuhidupkan dengan bersangka baik pada Allah, mimpi tetap terpatri di hati dengan keyakinan hati. Yakinku, tak lama lagi, Allah akan ganti semua doa, harap, dan mimpiku yang belum terkabul dengan hal yang lebih indah. More than I expected. In syaa Allah.
#30DWCHari17

Jumat, 16 Desember 2016

Nyontek Juga Ada Tekniknya

Tulisan ini kutulis untuk mengingatkan kita semua bahwa semua butuh usaha. Bukan hanya untuk melakukan kebaikan dan kebenaran, untuk melakukan keburukan dan kesalahan pun butuh usaha. Renungan ini terinspirasi dari pengalamanku saat mengajar, tepatnya menyampaikan kisi-kisi untuk ujian. 

Untuk membantu mahasiswa mempersiapkan diri mengikuti ujian, kisi-kisi ujian selalu diberikan. Akupun selalu memberikannya tepat di akhir pertemuan. Tujuannya agar lebih dekat dengan waktu ujian, maka mereka akan lebih siap. Dan memang itulah tujuan pemberian kisi-kisi.

Lalu, bagaimana soal renungan tadi? Begini, untuk meminimalisir aksi contek mencontek, kuberlakukan satu aturan. Bahwa siapapun yang kulihat mencontek atau mau dicontek tidak akan kuberi nilai A walaupun nilainya pantas untuk itu. Alasannya, dia sudah bersikap curang. Itu saja. Bukankah kejujuran ada nilainya? "Honesty has its own score", begitu selalu kusampaikan.

Pernah ada yang mempertanyakan mengenai 'yang dicontek' juga kena getahnya. Maka kujelaskan ulang bahwa 'yang mau dicontek'lah yang kena aturan ini. Kalau ternyata ada yang dicontek dan dia sama sekali tidak mengetahui sedang dicontek, maka dia aman dari aturan ini. Tentu akan berbeda dengan seseorang yang dengan sengaja dan sadar memberi contekan pada rekannya.

Itulah pula mengapa yang kukenai sanksi bukan hanya yang mencontek. Karena mereka yang memberi contekan biasanya adalah yang mempunyai jawaban kemudian secara  sukarela atau terpaksa berbagi. Dengan aturan ini, siapapun akan sangat enggan memberi contekan karena akan sangat merugikannya. Dari rata-rata semua kelasku, strategi ini terbukti sangat berhasil.

Namun ada pula yang nyeletuk dan bilang, "Kalau gitu, nyontek juga ada tekniknya ya, Miss?". Langsung kujawab tegas, "Ada. Tapi untuk apa menghabiskan waktu mempelajarinya? Mending belajar dan dapat nilai bagus". Sekelas manggut-manggut dan mengamini penjelasanku. Dalam jawabanku, kusampaikan bahwa mencontek pun perlu belajar, perlu usaha. Sebisa mungkin kukesankan bahwa melakukan keburukan membutuhkan effort lebih dibanding melakukan kebaikan.

Maka pertanyaannya adalah, apakah kita akan menghabiskan waktu untuk mempelajari dan menjadi ahli dalam keburukan atau memanfaatkan waktu untuk mempelajari dan menjadi ahli dalam kebaikan? Jawabnya ada pada kita. Namun percayalah, waktu akan lebih berkah bila dimanfaatkan dalam kebaikan. Sebaliknya, waktu akan terasa hilang begitu saja dan tak menghasilkan apa-apa bila dihabiskan dalam keburukan. Wallahu a'lam.
#30DWCHari16

Kamis, 15 Desember 2016

Panggil Aku 'Afifah!

"Apalah arti sebuah nama", begitu kata sebuah ungkapan. William Shakespeare pun sependapat. Menurutnya, bukan karena bernama mawar lantas bunga itu harum, dengan nama lain pun ia akan tetap harum. Ungkapan itu boleh saja dipegang orang. Pendapat Shakespeare boleh saja diaminkan orang. Namun aku punya pendapat berbeda. Bagiku, nama adalah doa. Yang kutahu, Rasulullah saw menganjurkan pemberian nama yang baik untuk setiap orang. Ditambah adanya larangan memanggil orang dengan nama yang buruk. 

'Afifah. Itulah namaku. Lengkapnya Nur'afifah Hasbi Nasution. Nur berarti cahaya, 'Afifah berarti wanita yang menjaga kehormatannya, Hasbi adalah gabungan nama kedua orangtuaku (has adalah Hasan (bapak) dan bi adalah Hubbi (mamak)). Lalu Nasution adalah nama keluarga (marga) karena aku adalah orang Mandailing. Kembali ke 'Afifah. Betapa indah artinya; wanita yang menjaga kehormatannya. Benarlah orangtuaku terus mendoakanku dengan memberi nama baik itu. Betapa saat setiap orang memanggilku berarti satu doa lagi dipanjatkan untukku. Lalu, bagaimana bila seseorang memanggilku dengan nama yang salah? Itulah yang akan kubahas.

'Afifah mungkin asing bagi sebagian orang. Sering didengar mungkin, tapi tidak paham pengucapannya yang tepat apalagi artinya. Berasal dari Bahasa Arab, pengucapan 'a tidaklah sama dengan huruf a dalam Bahasa Indonesia, melainkan huruf 'ain seperti pada kata 'aalamiin dalam surat al-Fatihah. Karena itu, tak jarang kenalan, teman, bahkan sebagian keluarga memanggilku dengan pengucapan yang salah. Bahkan aku pernah dipanggil dengan nama yang sebenarnya sudah sangat menyimpang dari 'Afifah. Ada teman yang memanggilku Pipah, Pipeh, Ipah, Ifah, Piah, juga Pipip. Tapi itu dulu, saat nama belum bermakna doa bagiku. Kunikmati panggilan-panggilan mereka tanpa berpikir apa-apa.

'Afifah lebih dari nama bagiku. Itulah aku kini. Namaku adalah doa yang selalu kumohonkan menjadi jati diriku. Menjadi identitasku. Bahwa sebutan itu diucapkan bukan hanya untuk memanggilku, namun juga melabelku. Karena itu, saat memperkenalkan diri, aku cenderung mengatakan, "Saya 'Afifah", bukan "Nama saya 'Afifah". Begitupun saat memperkenalkan diri dalam Bahasa Inggris, aku akan bilang, "I am 'Afifah", bukan "My name is 'Afifah". Memang apa bedanya "Saya 'Afifah" dengan "Nama saya 'Afifah"? Jelas beda. Saat aku menyebut kalimat pertama, sebenarnya aku sedang mengatakan bahwa "Saya adalah wanita yang menjaga kehormatannya, in syaa Allah". Sementara di kalimat kedua, aku hanya menyebutkan sebuah nama, sekedar sebutan untuk menamaiku. Itu saja.

'Afifah adalah visiku. Aku ingin hidup dan mati sebagai wanita yang selalu dan terus menjaga kehormatannya. Mulai dari bertutur kata yang terhormat, bersikap layaknya wanita terhormat, berhijab dengan sebenar-benar hijab, dan beribadah yang berkualitas, karena ibadah yang baik adalah kehormatan sesungguhnya bagi seorang muslim/muslimah. Aku ingin menjadi wanita yang memilih menjadi 'afifah karena Allah semata. Sehingga saat aku benar-benar pantas mendapat label kehormatan itu, di saat yang sama, akupun mulia di sisi Allah dan di sisi makhluq-Nya. Kini aku memang belum menjadi sebenar-benar 'afifah, namun aku akan terus berproses. In syaa Allah.
#30DWCHari15


Rabu, 14 Desember 2016

Berdakwalah Sebisamu

Ada tiga metode dakwah yang bisa dilakukan sesuai kemampuan masing-masing orang. Ketiganya adalah berdakwah lewat perkataan (da'wah bi al-lisan), berdakwah lewat perbuatan (da'wah bi al-hal), dan berdakwah lewat tulisan (da'wah bi al-kitabah). Lalu, dari ketiganya, metode dakwah manakah yang bisa kita lakukan? Mari kita bahas satu persatu.

Da'wah bi al-lisan adalah metode dakwah yang paling dikenal masyarakat. Pendakwah selalu identik dengan sosok penceramah yang berdakwah lewat kata-kata yang disampaikan secara lisan. Oleh karena itu, seorang penceramah haruslah memiliki kemampuan public speaking yang mumpuni, sehingga jama'ahnya akan betah berlama-lama mendengarkan ceramahnya. Wawasan dan pengetahuannya pun haruslah di atas rata-rata jika tak ingin ditinggalkan jama'ah. Meski bukan penceramah, namun sebagai dosen, sering kusisipkan dakwah mengajak mahasiswa-mahasiswi untuk senantiasa melakukan kebaikan.

Da'wah bi al-hal adalah hal yang mungkin masih asing bagi sebagian orang. Sepintas seperti tidak ada unsur dakwah dari perbuatan seseorang. Pemahaman itu sangat dipengaruhi oleh pandangan bahwa berdakwah berarti berceramah. Padahal perilaku atau perbuatan seseorang adalah hal yang dilihat orang lain kemudian mungkin akan ditiru pula. Bila yang dilakukannya adalah kebaikan, maka sesungguhnya ia sedang mendakwahkan kebaikan tersebut. Sebaliknya, bila perilakunya buruk, maka sejatinya, ia pun tengah mendakwahkan keburukan tersebut. Secara pribadi, introspeksi diri selalu berusaha kulakukan untuk bisa benar-benar berdakwah dengan perilaku dan perbuatanku.

Da'wah bi al-kitabah adalah metode dakwah yang sering dikaitkan dengan kaum terpelajar. Anggapan tersebut menilai orang-orang terpelajarlah yang sibuk berkutat dengan buku alias membaca lalu mampu menuangkan ide dalam bentuk tulisan. Anggapan itu bisa saja benar. Namun sejatinya, setiap orang yang mampu baca-tulis dan memiliki ide atau pengetahuan tentang sesuatu juga bisa berdakwah lewat tulisan. Itulah yang sedang kulakukan lewat blog ini. Menuangkan ide dan gagasan. Memotivasi dan menginspirasi. Menyebarkan pengetahuan dan nilai-nilai kebaikan. In syaa Allah.
#30DWCHari14

Selasa, 13 Desember 2016

Menulis Mimpi #Menulis Buku

Di postingan sebelumnya, aku sudah menulis tentang menulis mimpi. Bahwa ada tiga hal yang harus dilakukan, yaitu listing (membuat daftar), planning (membuat rumusan aktivitas), dan being consistent (mematuhi setiap hal yang telah dirumuskan). Dengan teknik tersebut, semua mimpi dapat dituliskan dan diperjelas arahnya agar dapat diukur tingkat kesuksesan pewujudannya. Kali ini, aku akan menulis salah satu mimpiku, yakni menulis buku. 

Buku impian ini in syaa Allah akan menjadi buku keduaku. Alhamdulillah aku sudah menulis satu buku 'sendiri' dan dua buku 'rame-rame'. Buku 'sendiri' itu kuberi judul "Hidup Nyaman dengan QLC (Quarter Life Crisis) pada Seperempat Abad Usia". Karena beberapa pertimbangan, kuterbitkan buku itu dengan penerbitan swakelola (self-publishing). Peluncurannya dibantu komunitas menulis el-BaTa (Lembaga Baca Tulis) dan diadakan di Perpustakaan Daerah Sumatera Utara. Saat itu, aku sudah resmi menjadi penulis buku, meski hanya skala lokal. Karena itu, kini targetku adalah menjadi penulis nasional dan menginspirasi lebih banyak orang melalui buku keduaku. 

Berdasarkan tiga langkah yang telah dijelaskan sebelumnya, maka langkah pertama yang kulakukan adalah menuliskan mimpiku menulis buku secara detail. Aku ingin buku keduaku ini diterbitkan oleh penerbit mayor. Launching dan bedah bukunya diadakan secara nasional di Medan (kota asalku) dan di kota-kota besar lain di Indonesia. Buku ini akan mengukuhkan namaku sebagai penulis nasional. Akupun membayangkan akan berbincang dengan Raditya Dika, Andrea Hirata, Habiburrahman el-Shirazy, Helvy Tiana Rosa, Asma Nadia, Pipiet Senja, Afifah Afra Amatullah, Brili Agung, Rezky Firmansyah, dan penulis-penulis Indonesia lainnya sebagai sesama penulis Indonesia. Kutargetkan bukuku ini akan terbit awal tahun, mengawali 2017 mendatang.

Langkah kedua adalah merumuskan agenda untuk mewujudkannya. Hal pertama yang kulakukan adalah mulai ngeblog untuk membiasakan diri menulis. Setelah dulu aku pernah ngeblog dan kandas di tengah jalan, kumulai lagi dengan niat kuat. Kemudian, kuterima tantangan menulis non stop selama 30 hari yang bertajuk 30 Days Writing Challenge. 30DWC sungguh mengubah pandangan dan caraku menulis. Entah terpaksa, dipaksa, atau apa namanya, nyatanya aku telah melewati dua belas hari dengan menulis. Tidak ada hari yang terlewat tanpa menulis. Blogku terasa hidup dengan postingan tulisan-tulisan baru setiap hari. Otakku pun dilatih untuk selalu menghadirkan ide demi mengejar deadline setiap pukul 22.00 WIB. Sungguh exercise yang mencerahkan. Setelah merampungkan tantangan satu bulan ini, aku akan menantang diriku menulis 30 hari non stop dengan tema khusus untuk mewujudkan mimpiku menulis buku. Tergabung di komunitas belajar menulis online memberiku banyak pengetahuan, termasuk strategi menembus penerbit mayor. Akan kuterapkan semua ilmu seraya terus belajar dan bertanya pada ahlinya hingga bukuku benar-benar terbit dan menginspirasi.

Selanjutnya, rumusan rencana berikut jadwal yang telah kubuat akan kupatuhi sebaik-baiknya. Konsistensi dan disiplin adalah kunci, itu yang kupelajari selama ini. Karena kendali sesungguhnya ada padaku. Tidak akan ada yang marah bila aku melanggarnya. Pun tidak ada yang paling bahagia bila aku mematuhinya dibanding aku sendiri. Beruntung aku mengenal dan bisa bergabung dengan 30DWC. Ada reward dan punishment yang diberikan pada masing-masing fighter (sebutan untuk semua peserta). Strategi yang terbukti memotivasi dan membuat ingin menulis dan menulis lagi. Ditambah Kelas Online Upgrading Fighter (KOUF) yang menambah wawasan seputar dunia kepenulisan dan aksi saling dukung agar sama-sama sampai garis finish. In Syaa Allah.
#30DWCHari13

Senin, 12 Desember 2016

Menulis Mimpi

Mimpi yang terencana tentu lebih mudah diwujudkan daripada mimpi yang hanya di angan-angan. Merencanakan mimpi adalah hal yang mungkin asing bagi kebanyakan orang. Namun demikian, banyak pula yang telah membuktikan kesuksesan mewujudkan mimpi dengan menuliskannya. Lalu, bagaimana sebenarnya menulis mimpi itu? Berikut ulasannya.

Menulis mimpi dapat dilakukan dengan tiga cara. Pertama, tuliskan daftar mimpi yang ingin diraih dalam setahun, lima tahun, sepuluh tahun mendatang, atau lebih lama lagi. Kedua, fokuslah pada masing-masing mimpi dengan merumuskan hal-hal yang harus dilakukan (to do list) untuk mewujudkannya. Ketiga, jadikan rumus suksesmu sebagai pedoman untuk sampai ke puncak impian yang kau idamkan. Mari kita bahas satu persatu.

Saat melakukan langkah pertama, yakni membuat daftar mimpi, pastikan semua mimpi benar-benar-benar termaktub di atas kertas. Tuliskan apapun yang kau impikan. Baik menyangkut pendidikan, kesehatan, travelling, hobi, keluarga, relationship, hingga orang-orang yang ingin kau jumpai. Kuncinya, jangan pernah anggap remeh mimpimu sehingga enggan menuliskannya. Jangan pula anggap lebay mimpimu hingga malu mencantumkannya.

Dalam menuliskan to do list, penting untuk mengetahui kelebihan-kekurangan kita, juga peluang dan ancaman yang mungkin akan dijumpai. Istilah kerennya, analisis SWOT (strength, weakness, opportunity, and threat). Salah dalam merumuskan akan berdampak salah dalam melakukan sehingga tentu akan berdampak pula pada hasil akhirnya. Jangan terburu-buru dalam merumuskan, tapi berhati-hatilah dan bersikaplah realistis sehingga semua rumusan dapat diaplikasikan dengan baik.

Untuk dapat konsisten melakukan to do list yang telah dirumuskan, tempel rumus suksesmu di tempat yang mudah dilihat sehingga akan terus memotivasi. Perlu pula memiliki buku mimpi khusus yang bisa dibawa kemanapun untuk terus mengingatkan diri yang kadang goyah di tengah. Akan lebih baik bila buku dan tempelan itu diperkuat dengan quote yang akan menggelorakan jiwa untuk terus move on dan move up meraih mimpi.

Demikianlah tiga cara yang bisa kita lakukan sebagai ikhtiar mewujudkan mimpi. Bila selama ini mimpi-mimpi kita dibiarkan berkeliaran di hati dan pikiran tanpa arah tujuan, kini mari mulai menuliskannya. Tidak perlu sungkan atau malu, jujurlah pada diri tentang apa yang diimpikannya. Buat daftar mimpimu, rumuskan to do listmu, lalu biarkan rumusanmu membimbingmu mewujudkan semua mimpi. In Syaa Allah.
#30DWCHari12


Sabtu, 10 Desember 2016

Jangan Makan Saudaramu

Apa kau sangat lapar?
Hingga teman pun kau makan
Apa kau begitu rakus?
Sampai-sampai saudara sendiri kau bantai

Dimana rasa sayangmu?
Hilangkah sudah perasaanmu?
Tak lagi kau punya cinta di hati
Menguap bersama kata tak berspasi

Mulutmu harimaumu
Lisanmu menghabisi saudaramu

Kau umbar aibnya
Kau sebar cerita buruknya
Kau nikmati membicarakannya
Sadarkah kau sedang berbuat dosa?

Kau hanya bicara, apa yang salah?
Kau cuma berkata-kata, kenapa memangnya?
Tapi kau sedang mengghibah,
Sadarkah?

Kau tak ubah seorang kanibal
Bal adhol, kau lebih dari kanibal
Kau makan daging manusia yang telah mati
Dan kau menikmati setiap suapan

Kau menjijikkan
Mulutmu bau bangkai
Bangkai yang mendarah daging
Kau bangkai yang berjalan
#30DWCHari11

Note: Stop ghibah.

Dosen itu...

Sepintas tak ada bedanya dosen dan guru, kecuali tempat dimana mengajar. Singkatnya, dosen adalah pengajar di perguruan tinggi, universitas, sekolah tinggi, institut, akademi atau apapun namanya yang merupakan pendidikan setelah SMA. Sementara guru adalah pengajar di PAUD, TK, SD, SMP, dan SMA, juga sebutan lainnya yang sederajat.

Tapi benarkah perbedaannya hanya pada tempat mengajarnya? Sungguhkah tugas dosen hanya mengajar? Hanya mentransfer ilmu ke peserta didiknya? Tentu tidak, tapi begitulah anggapan banyak orang, bahkan yang berprofesi sebagai dosen sekalipun.

Dari perbincangan dengan teman-teman dosen, tidak sedikit yang beranggapan bahwa cukuplah bila dosen mengajar saja. Datang tepat waktu ke kelas, menyampaikan materi, memberi tugas, lalu pulang. Di akhir semester, dosen bertugas membuat soal, mengawas ujian, dan pulang. Lalu mengoreksi jawaban mahasiswa dan memberi nilai.

Karena sederet tugas tadi, maka meneliti, menulis dan mempublikasi dirasa sangat membebani dan mengganggu aktivitas mengajar sebagai rutinitas utamanya. Apalagi bila bicara soal mempresentasi, yaitu mengikuti semacam seminar atau pertemuan ilmiah lainnya dan berperan sebagai presenter, hanya sedikit dosen yang menganggapnya.

Sesuai tri dharma perguruan tinggi, ada tiga tugas yang harus ditunaikan dosen. Ketiganya adalah berkaitan dengan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Kalau begitu, tugas dosen bukan hanya mengajar, tapi juga meneliti dan mengabdi pada masyarakat. Pertanyaannya, sudahkah aku berperan sebagai sebenar-benarnya dosen? In syaa Allah sedang serius berproses.

Lalu, setelah merenungkannya, kurumuskan tugas dosen menjadi tujuh hal, yaitu mengajar (mentransfer ilmu), memotivasi (mentransfer nilai-nilai kebaikan),  meneliti (menemukan hal-hal baru), menulis (menyimpan ide dan gagasan baru dalam tulisan), mempublikasi (menyampaikan ide dan gagasan baru dalam tulisan melalui media), mempresentasi (menyampaikan ide dan gagasan di depan umum dalam pertemuan-pertemuan ilmiah), dan mengabdi pada masyarakat (memberdayakan masyarakat sekitar).

Sebagai dosen, aku ingin menjadi yang terbaik. Menjadi sebaik-baiknya manusia yang paling bermanfaat untuk sesama. Maka bukan hanya tri dharma perguruan tinggi yang ingin kujalankan, tapi tujuh tugas dosen yang telah kurumuskan. In syaa Allah.
#30DWCHari10

Jumat, 09 Desember 2016

Jangan Marah!

Bagaimana rasanya dimarahi, atau bahasa Medannya, kena marah? Pasti tidak enak. Buatku pribadi, kena marah adalah hal yang paling memuakkan. Paling kubenci. Kalau kata orang, menunggu adalah hal paling membosankan, buatku, kena marahlah yang paling membosankan. Kalau harus menunggu, aku akan mengisi waktu dengan banyak hal seperti membaca, menulis atau menonton video di YouTube.

Tapi kalau kena marah, apapun tidak enak. Salah-salah, kena marahnya malah jadi double karena sambil membaca, menulis atau menonton YouTube. Begitulah, kena marah tetap saja lebih membosankan dibanding menunggu. Belum lagi, lagi-lagi menurutku, kena marah itu seperti dicederai harga diri ini, apalagi kalau di depan orang banyak. Benar-benar tidak enak rasanya.

Walau begitu, kena marah adalah hal biasa dan wajar. Semua orang pasti pernah kena marah, dengan level yang berbeda-beda tentunya. Lagipula, kita tidak bisa mengatur orang untuk tidak marah. Yang penting, jangan memancing kemarahan orang. Kalau kena marah boleh-boleh saja, marah boleh tidak? Dengan tegas kujawab, "Tidak".

Sudah tahu tidak enaknya kena marah, masih mau marahin orang? Semakin sering kena marah, harusnya semakin tau tidak enaknya kena marah, jadi semakin peduli sama perasaan orang yang juga tidak mau kena marah. Kalau kita tidak mau dimarahi, maka jangan pula memarahi. Ikhtiar kita menjaga lisan untuk tidak marah akan berbuah tutur kata indah orang lain pada kita. In Syaa Allah.

Dari tadi kataku-kataku, opiniku, selalu menurutku. Sekarang kata Rasulullah saw, "laa taghdhob wa laka al-jannah, laa taghdhob wa laka al-jannah". "Jangan marah, maka bagimu surga, jangan marah, maka bagimu surga". Pesan yang disampaikan beliau sampai dua kali tentu bermakna pentingnya hal tersebut untuk diperhatikan. Dan tidak tanggung-tanggung, mereka yang tidak marah akan mendapat surga.

Kok bisa, karena tidak marah, seseorang diberi surga? Bisalah, karena menahan marah itu ternyata sangatlah sulit. Butuh perjuangan hati. Bahkan disebutkan dalam hadits lain, "Orang yang kuat bukanlah yang bisa mengalahkan (menang bertarung dengan) orang lain, namun yang kuat adalah yang dapat menahan marah di saat ia sebenarnya bisa marah".

Di saat ia sebenarnya bisa marah, maksudnya apa? Bukannya semua orang bisa marah? Nyatanya, tidak semua orang bisa melampiaskan kemarahannya karena alasan-alasan tertentu. Coba perhatikan dua contoh kasus berikut.

Kasus pertama. Ada seorang bos yang dibuat jengkel oleh bawahannya, sebut saja office boy, yang menumpahkan minuman ke kertas kerjanya. Bisakah si bos marah? Tentu saja bisa. OB itu adalah bawahannya, dialah yang menggaji, dan jelas-jelas OB itu bersalah. Kalau dia mau marah, dia bisa saja marah. Pilihan ada di tangannya. Tapi karena Allah (lillahi ta'ala), ditahannya amarahnya karena tidak ingin mendzolimi hamba Allah yaitu si OB, dan ia paham bahwa kalau ia mampu menahan marahnya, maka ia sedang menjalankan sunnah rosul. Lalu bagaimana dengan orang yang dalam keadaan tidak bisa marah, bisa beri contohnya? Baiklah, ini...

Kasus kedua. Seorang OB sedang bekerja dengan baik, sambil berzikir malah. Tiba-tiba saat ia sedang mengepel lantai, bosnya masuk tanpa salam dan mengotori lantai dengan sepatunya. Si bos yang sedang bermasalah ini kesal melihat lantai yang sedang dipel. Dengan penuh kemarahan, si bos memaki OB tersebut dan menumpahkan sumpah serapah. Bisakah si OB marah meski ia tidak salah? Tidak, ia justru tertunduk membisu. Menerima kenyataan kena marah oleh bos yang jelas-jelas salah. Alasannya, karena yang marah adalah atasannya. Dia khawatir akan berdampak pada gajinya, atau mungkin saja terancam dipecat jika balik marah.

Dari dua kisah di atas, jelas menahan marah akan lebih sulit bila kita di posisi bisa, boleh, atau berhak dan wajar marah. Sebaliknya, bila keadaan memang tidak memungkinkan kita untuk marah, tentu lain ceritanya. Karena sesungguhnya, tidak ada perjuangan di sana. Terlepas dari bisa tidaknya seseorang marah, aku yakin tidak ada seorangpun yang suka kena marah.

Meski aku paling benci kena marah, tapi terkadang hal itu juga tidak bisa dihindari, maka sebaiknya dinikmati saja. Yang bisa dihindari, ya dihindari. Yang tidak terelakkan, ya dinikmati. Akhirnya, bila diterima dengan ikhlas, kena marah bisa nikmat juga ternyata. So, enjoy your life, every part of it, termasuk kena marah. Tapi selalu camkan di hati untuk tidak marah, karena balasannya adalah jannah.
#30DWCHari9

Kamis, 08 Desember 2016

Do It Halal Way

It may be familiar for us to hear someone says, "Just do it". Yup, it is good phrase that comes to motivate people to do, to relieve fear, and to be brave to try.

But, is it enough to just do it? to just do something? Doesn't it matter if someone does something in bad or stupid way only to fulfill the instruction of the phrase?

It's not enough to just do something. The way someone does something is crucial to be paid for attention. Then, "Do it halal way" is another better phrase to replace the former.

From now on, let's have the latest phrase as a guidance. Let's do whatever we wanna do in halal way. If the way is halal, can we do bad thing? Of course not.

Here are the steps. First, make sure that the thing you wanna do is good. Then, make sure that you do it in halal way. Ask yourself and you'll know if it is good and halal.
#30DWCHari8

Rabu, 07 Desember 2016

Mimpi itu Bernama Umroh plus Turki

Kalau biasanya pengalaman dikisahkan setelah dialami, kali ini beda. Kutulis kisah ini sebelum terjadi, sambil membayangkan seraya terus berdoa agar segera dikabulkan. Namanya adalah keinginan alias impian, boleh juga disebut khayalan. Keinginan yang semakin nyata di hati. Impian yang tak sabar menjadi nyata. Khayalan yang menggelorakan jiwa. Panggil dia umroh plus Turki.

Perjalanan umroh adalah perjalanan wisata plus ibadah yang menjadi impian banyak orang. Disebut wisata karena mengunjungi suatu tempat (di luar negeri pula). Dinamai ibadah karena aktivitas yang dilakukan adalah tuntunan agama. Sekedar mengingatkan, umroh adalah haji kecil yang dapat dilakukan kapan saja sepanjang tahun. Dengan semakin panjangnya daftar tunggu haji di Indonesia, banyak yang mencukupkan diri dengan umroh saja.

Bagiku pribadi yang alhamdulillah telah berangkat haji pada musim haji 2006 lalu, rasa rindu untuk kembali semakin tahun semakin menguasai hati. Banyak doa kupanjatkan agar diberi kesempatan lagi. Tak terlukis rindu yang semakin menggebu, apalagi saat melihat calon tamu Allah berrezeki pergi ke tanah suci. Mungkin karena telah pernah berhaji, keinginan umroh lebih mendominasi. Sungguh, ingin sekali.

Lalu soal umroh, ada pula pilihannya. Kita bisa memilih umroh "biasa" atau umroh "plus". Bila aku ditanya, aku akan lebih memilih umroh plus, tentunya. Alasannya, aku bisa beribadah sekaligus berwisata ke tempat lain selain haromain (Makkah-Madinah). "Jika ada yang plus, kenapa pilih yang biasa (standar)," begitu pikirku. Sekali mendayung, dua-tiga pulau terlampaui, begitu kira-kira.

Umroh plus pun masih menawarkan banyak pilihan. Ada yang plus Kairo, Jerussalem, Maroko, Turki atau yang lainnya. "Kalau anda, pilih yang mana?" Bila pertanyaan ini ditujukan padaku, aku akan jawab, "Definitely, Turkey". Alasannya? Turki di mataku bagai perpaduan Eropa dan Afrika. Banyak sejarah yang tertulis di sana. Modernisme yang ditunjukkannya tak sama sekali menyamarkan tampilan kejayaan masa lalunya.

Bagiku, melihat Turki seperti berada di masa lalu dengan rasa kekinian. Budaya, bangunan dan kulinernya sarat pesona. Es krim dengan atraksi penguji kesabarannya sangat ingin kucoba. Balon udara Cappadocia adalah juga hal yang sangat ingin kunikmati. Saat ini, aku hanya bisa memandangi Makkah-Madinah dan Turki dari kejauhan. Tepatnya dari dekat layar handphone dengan menonton YouTube.

Tapi siapa tahu, sebulan, dua bulan, atau tiga bulan ke depan, mimpi ini menjadi nyata dan aku benar-benar sedang thawaf mengelilingi Ka'bah, sholat Dhuha di dekat hijir Isma'il, berdoa di sisi maqom Ibrohim, sholat berjama'ah di Masjidil Harom, membaca dan mentadabbur al-Qur'an di Masjid Nabawi, sholat Hajat di makam Rasulullah saw, sedekah jus di pelataran masjid, minum air Zam-zam, makan nasi Briyani, belanja gamis dan tasbih. Who knows.

Setelah puas beribadah di Masjidil Harom dan Masjid Nabawi, kulanjutkan perjalanan ke Turki. Kucicipi es krim beratraksi menarik, kunaiki balon udara Cappadocia sambil bertasbih mengagumi bumi Ilahi. Mungkin rasanya seperti terbang, entahlah, just wait and feel. Kujelajahi Turki, kupelajari sejarahnya seraya menikmati bangunan-bangunannya yang artistik, lengkaplah bahagia itu. Apalagi bila aku bersama suami dan orangtua, pantaslah disebut replika surga di dunia. Wallahu a'lam.
#30DWCHari7

Selasa, 06 Desember 2016

Kembali ke Sekolah bersama Kelas Inspirasi

7 November 2016 adalah Hari Inspirasi untuk Kabupaten Deli Serdang. Dan aku adalah salah satu inspirator untuk Kelas Inspirasi Deli Serdang (KIDS), tepatnya di kelompok 9. Saat briefing, kami (inspirator dan dokumentator) diminta untuk menyampaikan alasan mau terlibat dalam KIDS. Setelah melihat tak ada yang angkat tangan untuk angkat suara, kuacungkan tangan dan kusampaikan alasanku.

"Awalnya saya mengetahui Indonesia Mengajar dan sangat tertarik dengan kegiatan tersebut. Mereka, sarjana-sarjana terbaik, diberi kesempatan menetap dan mengajar di sekolah di daerah-daerah terpencil di Indonesia. Mereka tidak dibayar, namun hati mereka sungguh dibuat penuh kepuasan dengan terlibat di dalamnya. Kepuasan yang tidak bisa saya dapat karena saya bukanlah fresh graduate. Ya, syaratnya adalah lulusan S1 yang baru diwisuda.

Saya hanya bisa menonton keseruan yang mereka nikmati bersama anak-anak bangsa yang "terlupakan" tersebut. Saya turut bahagia melihat senyum ceria dan tawa penuh harapan anak-anak hebat tersebut. Iri rasanya melihat para pengajar muda yang berkesempatan menorehkan sejarah di kanvas pendidikan Indonesia. Terlihat jelas rasa puas dan bahagia di wajah pemuda-pemudi Indonesia tersebut.

Lalu ada kabar gembira yang baru saya tahu beberapa bulan lalu, tepat saat KIDS membuka kesempatan untuk para profesional yang ingin berkontribusi untuk pendidikan Indonesia. Ternyata Kelas Inspirasi sudah diadakan di banyak kota di Indonesia. Bahkan Kota Medan (kota tempat tinggal saya) sudah mengadakannya dua kali. Begitupun Kota Binjai yang tidak jauh dari Medan. Juga Kabupaten Labuhan Batu yang merupakan kampung mamak saya. Kesempatan yang telah saya lewatkan karena informasi yang tidak sampai.

Saya mendapatkan informasi open recruitment inspirator untuk KIDS dari sosial media Line. Entah siapa yang membagi pengumuman itu, tak lagi saya hiraukan. Pengumuman itu seperti jawaban atas kegelisahan hati saya yang juga ingin berbagi dan memberi arti seperti para pengajar muda yang saya sebut pemuda keren calon beken alias sukses. Yang tidak hanya ingin sukses sendiri, tapi menginspirasi anak-anak lain untuk juga sukses.

Setelah mempertimbangkan kesiapan mengikuti KIDS, saya langsung mendaftarkan diri dan mengisi formulir yang disiapkan panitia secara online. Sungguh formulir yang panjang. Kalau bukan karena niat kuat ingin terlibat, formulir yang berlapis-lapis itu sudah mengurungkan niat dan menyurutkan semangat. Tapi apapun itu, sebanyak apapun formulir yang harus diisi, tetap saya ladeni bahkan harus menunggu jawaban panitia apakah saya terpilih untuk menjadi bagian dari KIDS pun saya lakoni.

Alhamdulillah beberapa hari setelahnya, saya menerima email dari panitia yang menyatakan bahwa saya terpilih menjadi salah satu inspirator untuk KIDS. Bahagia tentu saja. Menjadi bagian dari gerakan yang sungguh memberi pencerahan bagi pendidikan Indonesia adalah hal luar biasa yang tak cukup hanya disebut prestasi. Hal itu seperti "amal jariyah" yang tidak akan putus pahalanya, karena akan terus membekas di hati anak-anak dan akan terus mereka bawa membesarkan bangsa ini."

Sungguh Kelas Inspirasi telah memberi saya kesempatan untuk menjadi sebaik-baik manusia, yaitu yang paling bermanfaat untuk sesama. Tepat dugaan saya, Kelas Inspirasi adalah program lanjutan dari Indonesia Mengajar. Program yang diinisiasi para pengajar muda untuk memberi kesempatan pada anak bangsa yang tidak berkesempatan bergabung di Indonesia Mengajar.

Semoga apa yang saya dan teman-teman lakukan di KIDS dan Kelas Inspirasi lainnya di seluruh Indonesia memberi manfaat nyata bagi pendidikan Indonesia. Akhirnya, tulisan ini mengajak kita semua untuk melakukan sesuatu (sekecil apapun itu) yang akan berdampak besar di kemudian hari. "Sehari mengajar, selamanya menginspirasi."
#30DWCHari6

Senin, 05 Desember 2016

Silahkan Sholat, tapi Maukah?

Ini pengalamanku saat bekerja di sebuah LSM anak di Simeulue, Aceh. Meski berjulukan serambi Mekkah, banyak non muslim yang menambah populasi warga setempat. Pasalnya, setelah bencana tsunami memporakporandakan kota Aceh dan sekitarnya, banyak bantuan datang dari seluruh penjuru bumi. Tak sulit menemukan bule kala itu. Menariknya, bule-bule itu bukan sedang melancong, melainkan menjadi relawan kemanusiaan yang siap sedia membantu siapa saja.

Tak ada sekat ras di sana, agama pun tak mengkotak-kotakkan manusia, juga kewarganegaran yang tak jadi dinding pemisah antar manusia. Semua orang menyatu karena cinta. Cinta sesama manusia. Cinta sesama makhluk Allah yang Maha Esa. Potret itu begitu indah. Semua orang saling memikirkan, mendukung dan berusaha memberikan yang terbaik. Perbedaan bahasa tak menghalangi mereka untuk saling membantu. Komunikasi hati yang tulus melancarkan komunikasi lisan yang terputus-putus.

Akupun ingin menjadi bagian dari potret itu. Berbaur dengan orang-orang 'asing' yang seperti saudara sendiri. Bukankah semua manusia memang bersaudara? Bahkan al-Qur'an menegaskan hikmah di balik perbedaan yang melekat pada tiap-tiap orang. Allah menciptakan kita berbeda-beda bukan tanpa alasan. Tujuannya adalah agar kita saling mengenal. Selanjutnya, agar manusia dapat hidup berdampingan dalam kedamaian dan rasa aman.

Begitulah, sebuah bencana yang memporakporandakan hidup manusia di sebuah tempat dapat merajut persaudaraan manusia dari berbagai penjuru dunia. Singkat cerita, aku ditugaskan di sebuah pulau yang masih bagian Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Walau tidak banyak, ada beberapa bule yang bertugas di sana. Paling banyak adalah saudara setanah air dari luar pulau. Dan aku datang dari Medan.

Banyak hal yang menjadi cerita dan terus membekas di hati. Dari sekian banyak pengalaman, praktik toleransi menjadi catatan tersendiri bagiku. Bahwa setiap orang bebas dan berhak mengekspresikan diri tanpa kehilangan identitas. Begitupun aku dan teman-teman seiman lainnya. Kami menunaikan sholat lima waktu dengan mudah dan istiqomah berhijab. Sekalipun ketika mengikuti rapat atau acara yang dipimpin oleh non muslim.

Suatu waktu, kami mengadakan sebuah rapat dengan perwakilan yang datang dari kantor pusat. Mulai dari semacam pelatihan hingga membahas proyek-proyek lanjutan. Kebetulan yang mengisi acaranya adalah seorang non muslim. Ketika waktu Zuhur tiba, non muslim yang memimpin acara mempersilahkan peserta muslim untuk sholat. Namun yang beranjak dari tempat duduk hanya hitungan kurang dari lima jari. Apa yang salah?

Hal inilah yang kemudian kuhighlight dan menjadi renungan. Betapa kita sebagai muslim seringkali tidak mensyukuri sikap toleransi yang ditunjukkan non muslim. Barulah saat non muslim berulah dengan bersikap intoleran, kita marah bahkan mengamuk. Dalam kasus ini, saat sholat tak lagi leluasa dilaksanakan, barulah kita sibuk meneriakkan suara minta keadilan.

Kita hendaknya bersyukur dan menikmati kemudahan dan kenyamanan beribadah yang dihadiahkan Allah untuk Indonesia. Karena nyatanya, kadang kita sibuk bicara intoleransi soal ini-itu. Seolah negeri ini banyak salahnya; bukan rumah yang membuat betah. Padalah banyak toleransi yang patut disyukuri. Bahkan lupa kita nikmati. Jangan sampai ada larangan beribadah, baru kita berniat sholat. Jangan sampai ada larangan menutup aurat, baru kita ingin berhijab. Jangan sampai...
#30DWCHari5

Minggu, 04 Desember 2016

Stop Tanya Kapan!

Jangan ditanya berapa kali aku ditanya "Kapan...?" Apalagi kalau bukan, "Kapan nikah?" Belum lagi kalau dikait-kaitkan dengan adikku yang sudah lebih dulu ke pelaminan. Kata orang-orang, aku dilangkahi, tapi aku malah merasa biasa saja. Menurutku, istilah itu terlalu kasar, seakan adikku tidak tahu sopan santun dengan menikah duluan. Padahal kan emang jodohnya datang lebih awal dan itu rezekinya, ya sudah.

Kembali soal ditanya-tanya "kapan". Awalnya aku kesal campur dongkol ditanya terus, ada sedih dan malu juga, tepatnya minder. Terus-terusan ditanya dengan pertanyaan nyelekit itu menciutkan rasa percaya diriku. Nada tanya mereka membuatku merasa buruk. Pandangan mereka mengesankanku seorang wanita yang gagal. Belum lagi kadang disertai seringai senyum plus tawa merendahkan.

Suatu hari, pertanyaan yang sama mendarat lagi di telingaku. Yang bertanya seorang teman. Dengan percaya diri yang kubangun mati-matian, kusikapi pertanyaan memuakkan itu dengan tenang plus senyum menawan. Kubilang, "Kenapa kamu yang pusing? Aku aja santai, bahagia malah. Gak kebayang gimana bahagianya nanti kalau nikah, sekarang aja masih sendiri udah super bahagia, alhamdulillah."

Di luar dugaan, dia bingung. Terlihat jelas dia berusaha menekanku dengan mengulang pertanyaan beberapa kali dan mengusik rasa nyamanku dengan perbincangan seputar pernikahan dan rumah tangga. Semakin terobsesi dia menghancurkan rasa tenangku, semakin hancur dia. Akhirnya (ini puncaknya), dia menyerah. Jangan bayangkan dia mengangkat tangan dan bilang, "Stop, aku udah gak kuat". Dia malah curhat menyesal sudah menikah. Berbalik 180 derajat, dia malah bilang iri padaku yang belum menikah.

Menurut pengakuannya, dia merasa terkekang dan tidak bebas seperti dulu sebelum menikah. Belum lagi masalah rumah tangga yang tidak terduga. Aku mendengarkan sambil bercakap-cakap dalam hati. "Ternyata orang yang sibuk mengomentari kekurangan orang lain adalah orang yang paling kurang, karena sesungguhnya ia sedang mencari orang yang lebih kurang darinya untuk membuatnya bahagia atas keadaannya."

Temanku itu terus mengoceh, tapi tak ada lagi kata-katanya yang kusimak, karena hatiku pun punya banyak kata; kata-kata penyemangat jiwa yang semakin mengokohkan rasa percaya diriku. Bahwa aku (dan semua wanita berkeadaan serupa) adalah wanita-wanita istimewa yang ditangguhkan Allah pernikahannya untuk menjadi lebih dewasa. Hingga saat tiba masanya nanti, aku juga akan naik pelaminan, bergelar nyonya dan menjadi ibunda. Insya Allah.
#30DWCHari4

Sabtu, 03 Desember 2016

Menjadi Duta Islam

Menjadi muslim bukanlah status semata. Ada kewajiban yang harus ditunaikan dan larangan yang harus ditinggalkan. Di antara kewajiban muslim adalah memperkenalkan dan menampilkan wajah Islam melalui sikap dan tutur katanya. Sehingga orang-orang akan mengenal dan menilai Islam melaluinya sebagai bagian dari Islam itu sendiri. Inilah yang kemudian disebut dengan 'menjadi duta Islam'.

Semua muslim sejatinya adalah duta Islam. Seperti layaknya duta pariwisata atau duta PBB yang mungkin lebih familiar di telinga kita, duta Islam bertanggungjawab memperkenalkan Islam pada orang-orang di sekitarnya dengan bersikap sesuai ajaran Islam dan menampilkan nilai-nilai Islami sebagai kepribadiannya. Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah Islam seperti apa yang kita promisikan selama ini?

Berkaca pada aksi super damai yang baru dilakukan jutaan umat Islam Indonesia kemarin (Jum'at, 2 Desember 2016), Islam santun dan cinta damai alhamdulillah berhasil mereka tampilkan dengan indah. Tontonan yang bahkan menjadi konsumsi dunia dan insya Allah akan menjadi tuntunan bagi muslim lainnya di seluruh dunia.

Rasa syukur dan bangga menyelimuti hati, meski berada jauh dari tempat aksi. Bersyukur karena tak ada yang mencederai aksi super damai tersebut. Berbangga karena menjadi bagian dari agama Allah yang indah ini. Menjadi bagian dari potret muslim Indonesia.  Sungguh mereka yang ambil bagian dalam aksi super damai kemarin telah menjadi duta Islam sejati.

Lalu, bagaimana dengan kita? Apakah kita telah menjadi duta Islam sejati? Yang menampilkan wajah Islam yang indah? Atau kita justru mencoreng wajah Islam dengan sikap kita yang jauh dari nilai-nilai Islam. Kitalah yang tahu jawabannya. Tanyalah diri masing-masing dan jujurlah menjawabnya.

Apapun jawaban hati, terimalah sebagai introspeksi diri. Belum terlambat memperbaiki diri untuk menjadi duta Islam sejati. Jangan hanya jadi Islam KTP. Tapi jadilah duta Islam sejati. Karena sesungguhnya, identitas Islam juga ada di diri masing-masing kita.
#30DWCHari3

Jumat, 02 Desember 2016

Hiduplah Sekarang

Hiduplah sekarang. Atau kau takkan pernah hidup hingga hidupmu berakhir. Betapa banyak orang yang mengeluhkan secuil cobaan dengan menampik setumpuk kebaikan. Bukan sedikit orang yang menghina diri karena merasa tak diberi. Tak diberi oleh Maha Pemberi, mungkinkah? Bukankah kita yang seringkali seakan buta pada nikmat-nikmat yang tak terhitung jumlahnya? Tidakkah Allah lebih tahu apa yang terbaik untuk kita? Lalu, masihkah kita memaksakan keadaan yang belum ada?

Hiduplah sekarang. Atau kau akan mati sebelum kau benar-benar mati. Tidak baik menyalahkan keadaan dan mencari-cari alasan. Alasan untuk berhenti berharap dan berupaya. Alasan untuk tidak lagi sujud di hadapan-Nya. Alasan untuk menjatuhkan tangan dan tak lagi mau berdoa. Apalagi alasan untuk membenarkan keinginan mengakhiri. Hidup tidak perlu berakhir hanya karena doamu belum mewujud. Karena doamu tidak harus berwujud seperti yang kau mau bukan?

Hiduplah sekarang.  Karena waktu takkan kembali. Karena hari terus berganti. Kata bule, time is money. Waktu adalah uang. Tak kau gunakan waktumu sama saja kau hambur-hamburkan uangmu. Milioner sekalipun akan berpikir beribu kali untuk itu. Milionerkah dirimu? Orang Arab bilang, al-waqtu ka as-saifi, in lam taqtho'hu qotho'aka. Waktu itu seperti pedang, jika kau tak menghabisinya, maka ia akan menghabisimu. Sadis? Begitulah. Umur memang bertambah (jumlahnya), tapi justru berkurang (jatah hidupnya).

Hiduplah sekarang. Walaupun harapmu belum tercapai. Walaupun inginmu belum terkabul. Walaupun mimpimu belum menyata. Hanya Allah yang tau; apa yang kau butuh, apa yang kau inginkan, dan apa yang terbaik untukmu. Ketahuilah, doa-doamu tidak menguap begitu saja. Mereka telah menjelma sebagai kesehatan, kekeluargaan, persahabatan, kelapangan waktu, keamanan, rumah (meski masih ngontrak), mobil (meski masih kredit), atau handphone (meski layarnya tak lagi sejernih dulu).

Hiduplah sekarang. Syukuri nikmat yang telah dianugerahkan. Nikmati semuanya dan berbahagialah. Jangan biarkan dirimu terpeleset ke masa depan alias banyak mengkhayal. Apalagi terjebak dalam masa lalu alias gagal move on. Kalau terus mengeluh, apa nikmatnya hidup ini? Sungguh, terlalu banyak nikmat yang diberi. Tinggal kita saja, mau mengakui atau masih mencari-cari (nikmat lain yang belum diberi).

Hiduplah sekarang. Sebelum terlambat.
#30DWCHari2

Kamis, 01 Desember 2016

Aksaraku untuk Indonesia

Masih kuingat betapa sulit dan menantangnya tugas akhirku dulu. Saat di pesantren, kami harus menulis paper atau semacam karya ilmiah berbasis kepustakaan. Jika biasanya tugas akhir baru dijumpai di bangku kuliah, kami sudah mengecapnya lebih dulu.

Aku dan teman-teman seangkatan berbondong-bondong meramaikan perpustakaan. Perbincangan seputar judul dan topik yang akan dibahas pun menggema di sekitar kami. Banyak buku yang kubaca untuk mencari inspirasi. Tapi tak ada yang mengilhamiku membuat judul dan memilih materi.

Perhatianku malah tertuju pada hebohnya anak muda merayakan hari Valentine (Valentine's day). Kuputuskan untuk membahasnya dalam paperku. Aku ingin tahu seperti apa Islam memandang perayaan itu. Meski sempat berliku, akhirnya proposalku diterima. Judul paperku, "Pandangan Islam terhadap Tradisi Valentine."

Paperku ini memang menantang, jauh dari "main aman". Pasalnya, hampir tidak ada buku yang mendukung penelitianku. Referensi yang kupakai justru dari artikel-artikel di majalah-majalah Islam yang memang sangat booming kala itu. Sebut saya Annida, Ummi, dan Sabili.

Beberapa teman menyarankan ganti topik, tapi aku sudah terlanjur tertarik. "Ngapain susah-susah, yang penting selesai, ya sudah," begitu seorang teman mengingatkan. Meski penulisan paperku tak semulus teman-teman yang lain, tapi aku sungguh bahagia merampungkannya. Lagipula, dari awal aku sudah menduga plus mengantisipasi lika-likunya.

Tak berselang lama setelah itu, aku sudah resmi menjadi mahasiswi. Kujalani hari-hariku dengan mengkaji dan bersosialisasi. Suatu hari, kubaca selembar Buletin Jum'at. Publikasi sebuah masjid itu ternyata menerima kiriman tulisan. "Saatnya beraksi," sorakku dalam hati.

Kubongkar kotak bukuku. Kuambil paperku dan bersiap membedahnya. Tulisan belasan (atau lebih) lembar itu kuringkas menjadi hanya dua lembar setengah. "Begini lebih pas kayaknya," pikirku sambil tetap mengedit sana sini. Judulnya pun kuganti menjadi "Islam dan Tradisi Valentine."

Kutitipkan tulisanku pada bapak, karena aku tak lagi sholat Jum'at seperti saat di pesantren.Entah berapa minggu menunggu, tulisanku dicetak dan jadi bacaan jama'ah masjid. Bangganya bukan main. Tulisanku layak dibaca publik. Tulisan itu adalah cikal bakal karir menulisku.

Selanjutnya kutulis materi lain dan kupublikasikan melalui koran lokal seperti Harian Waspada, Analisa dan Mimbar Jumat. Mengikuti lomba menulis pun tak ragu kulakukan. Tak selalu mulus memang; kadang diterbitkan, kadang hilang tanpa kabar, kadang menang hadiah jutaan, kadang hanya juara harapan, kadang tak bisa diharapkan.

Akupun pernah merasakan dikritik oleh pejabat yang merasa terganggu dengan tulisanku. Sempat ingin kuakhiri goresan penaku, tapi kuurungkan setelah keluarga menyadarkanku.

Kata mamak, "Dia gak perlu tersinggung dengan tulisan itu, kenapa harus marah? Dan gak ada alasan untuk berhenti, karena yang ditulis gak salah."

Bapak malah menyalamku dan mengucapkan selamat. "Selamat karena sekarang Afifah sudah benar-benar seorang penulis," kata-kata yang justru meyakinkanku untuk melangkah maju.

Setamat kuliah, aku semakin dekat dengan dunia tulis-menulis. Pekerjaan pertamaku adalah menjadi media officer untuk sebuah LSM anak di Simeulue, Aceh. Sempat pula aku menjadi calon wartawan di sebuah harian dan menjadi editor di sebuah media online.

Alhamdulillah sebuah buku sendiri dan beberapa buku "rame-rame" sudah kutulis dan diterbitkan. Meski kadang semangat menulisku pasang surut karena kesibukan lain, tapi keinginan menulis tetap ada di hati. Bahkan seperti obat penenang, setelah menulis aku merasa lepas dan lapang.

Kini sedang kujajal media baru. Meski bukan pertama kalinya menulis di blog, kali ini aku serius. Entah kenapa perayaan 17 Agustusan yang lalu begitu berkesan di hatiku. Semangat yang kurasa adalah ingin membuat bangga ibu pertiwi. Menjadi kebanggaan negeri. Menjadi srikandi di bidang yang kukuasai.

Dunia kepenulisan sudah cukup lama kugeluti dan sungguh kucintai. Aku ingin berprestasi disini. Kudedikasikan tulisan-tulisanku untuk Indonesia. Untuk menginspirasi saudara sebangsa, berbagi ilmu dan pengalaman, dan saling nasehat-menasehati dalam kebaikan. Insya Allah.
#30DWCHari1